Perbedaan Preferensi Politik dalam Keluarga: Tetap Waras agar Anak-anak Belajar Adil


Perbedaan preferensi politik antara suami dan isteri? Hmm menurut ngana? Kalau menurut saya sih sah-sah saja lah. Perbedaan ini jangan disikapi seperti alergi. Eh gimana? Maksudnya jangan alergi sama perbedaan, karena alergi biasanya tidak ada obatnya. Alergi hanya bisa dicegah dengan menghindari pencetusnya.



Tahun 2018 ini di luaran sana mulai hangat suhu dunia maya. Hmm saya sih sebetulnya biasa aja mensikapinya. Macam penonton yang tidak fanatik dengan salah club favorit. Ada sih yang saya suka, tapi lebih karena ada si ganteng tea :P.  Ribut di luaran sana semoga gak sampai membuat saya kehilangan kewarasan. Woles aja laah.

Panggung politik mah kalau diikuti bikin mual-mual #eh. Lhaaa tontonan dan dagelan yang kadang gak ditonton masyarakat banyak dan gak diekspos media massa (entah mengapa) tersaji dengan indahnya di setiap waktu. Jadi itu yang ribut di luaran sana, kok lagi ketawa-ketawa sambil nyeruput kopi di sini, yaah itulah politik mamake. Jangan terlalu dibawa ke hati apalagi sampai memutus silaturahmi.

Kacaunya lagi kalau perbedaan preferensi membuat suhu di rumah ikut-ikutan panas. Coba deh dipikir ulang. Ada anak-anak juga lho di rumah. Trus apa kita harus selalu punya preferensi yang sama di dalam rumah. Saya pikir juga enggak ya. Jangan sampai juga dipaksa atau terpaksa harus sama padahal beda selera. Jadi gimana? Ya sewajarnya saja jika ternyata saya dan kamu berbeda selera dalam urusan politik. Setidaknya kita juga tengah mengajarkan anak-anak untuk memiliki sikap adil dalam menghadapi perbedaan. Adil karena pilihan kita tidak berarti yang pasti benar, lebih benar, pasti bagus dan lebih bagus... Hmm ini soal preferensi politik yaa.

Baca: Belajar Demokrasi dari Rumah

Siap-siap nih yang di rumah dan memiliki anak-anak di usia sekolah. Suhu di luaran boleh panas, dalam rumah usahakan tetap adem. Saya teringat dengan peristiwa jelang pemilu presiden 4 tahun lalu. Kebetulan "ternyata" kayaknya sih yaa, saya dan suami punya preferensi yang berbeda. Hmm kejadian ini ternyata diamati lho sama Trio Krucils.

Yang paling penasaran sih Ka Alinga. Kondisi ini kemudian berlanjut saat ada pilkada, pemilu legislatif dan sejenisnya. Trio ini kadang memunculkan pertanyaan-pertanyaan unik yang tidak terduga bahkan saat kami bukan tengah menjadi pemilih. Lhaa pilkada DKI kan kami gak ikutan, yang akan datang pilkada Jabar dan seterusnya juga kami hanya mengamati. Ternyata mereka kerap kepo soal ini, semua bermula dari Pilpres 2014 lalu.

Baca: Yuk ajari si kecil berbagi tugas dan peran

Selesai mencoblos untuk pilpres di tahun 2014 lalu yang dikawal penuh oleh para krucils yang ikut-ikutan masuk kè bilik suara dan mencelupkan jari ke tinta ungu, pertanyaan ala exit poll bertubi-tubi diajukan para krucils.

"Tadi siapa yang Ayah dan Ibu coblos? Jokowi atau Prabowo. "

Yang tampak paling penasaran rupanya Ka Alinga.

Saat didapatkan jawaban berbeda dari masing-masing kami, reaksi Ka Al dan Ka Zaha sangat berbeda. Ka Zaha langsung mengàjukan pertanyaan pada kakaknya
"kalau sudah besar, kamu pilih yang mana Kak? Aku pilih yang sama kayak Ibu."
Ka Al membisu sesaat, raut wajahnya berbuah serius. "Hmm rahasia...".


Rupanya Ka Alinga masih penasaran.
"Bu.. Ayah bohong kali bu kalau Ayah milih X, becanda ya Ayah yaaa".
"Hmmm coba Kakak tanya lagi, tapi kayaknya memang bener kok, Ayah pilih X"
"Tapi kok Ayah sama Ibu pilihannya beda, Ayah pilih X, Ibu pilih XX...kok gitu?"
Raut seriusnya kembali menghias wajahnya.
"Lhoo...memang kenapa?? kan memang boleh-boleh aja beda."

Baca Juga: Growth Mindset VS Fixed Mindset

"Nanti kalau Kakak sudah besar dan sudah boleh memilih, pilihannya terserah Kakak boleh pilih yang mana saja sesuai kemauan Kakak..., tidak ada yang boleh memaksa."
"Hmmm tapi kenapa Ayah dan Ibu pilihannya beda?"
Raut ragu tak juga hilang dari wajahnya.
Saya mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana bahwa kami berbeda pilihan karena kami punya pandangan yang berbeda, yang dalam hal ini tidak ada benar dan salah.

Kami bukan pemilih fanatik salah satu calon pasangan, mungkin termasuk swing voter yang sampai jelang hari H mencoba menimbang mana yang terbaik dari dua yang terbaik atau malah mana yang paling sedikit mudharatnya dari yang lain. Kami adem-adem saja meskipun kemudian pada hari H, kami memilih pasangan yang berbeda. Diskusi justru lebih intens setelah kami lega menunaikan kewajiban konstitutional tersebut. Kesimpulannya, siapapun yang terpilih semoga yang terbaik untuk bangsa ini dan Allah meridhoi.

Rasa penasaran Ka Alinga tak kunjung hilang. Bahkan kemarin dia masih memastikan apakah benar pilihan Ayah berbeda dengan Ibu.

"Ibu, coba deh Ibu tanya lagi...Ayah mungkin bohong kalau pilih X...kayaknya sebenernya pilih XX deh bu"
"Ah Kakak...bener kok Ayah nyoblos X..."
"Walaupun kita berbeda pilihan kita tetep harus saling menghormati, tak perlu berantem... harus damai." Krucils ini juga terkena imbas hebohnya pilpres ini, terlebih mereka sering mendengar kami orang dewasa berdiskusi soal ini.

Sebelum waktu mencoblos sekalipun mereka bahkan sudah bertanya-tanya siapa pilihan Ayah dan Ibu. Waktu itu kami masih galau, maklum swing voter, sehingga jawaban kami agak mengambang.  Rupanya kami berlabuh pada pilihan yang berbeda. Apakah kemudian menjadi masalah?

Rasanya tidak, suami saya mengakui saat saya memaparkan berbagai kampanye hitam dari kubu X, begitu juga saya tak mengelak bahwa dari kubu XX kadang agak lebay menghadapi berbagai isu. Toh meski kami berbeda pilihan kami secara dewasa mengakui bahwa tidak berarti pilihan masing-masing kami lebih benar dari yang lain. Kami meyakini bahwa kelak siapapun yang terpilih, ada konsekuensi logis, baik itu positive mungkin juga negatif. Jadi buat apa "ribut"? bukankah damai lebih indah. So pisss kue lupis...

Baca Juga: Peraturan di Rumah, belajar berkomitmen

Saya jujur merasa gerah dengan "perang" di media sosial dan media lainnya. Bahkan ketika 9 Juli sudah berlalu. Pliss deh! siapapun yang menang pada akhirnya kita akan memiliki satu saja pemimpin. Pendukung yang manapun toh akhirnya harus mengawal mereka agar kelak Indonesia menjadi lebih baik. Tidak baik, bersikap "taklid buta" dan meyakini pilihan kita sebagai pilihan paling benar. Bahkan jika sosok pilihan kita kelak melakukan "kesalahan", sebagai pendukungnya tentu kewajiban kita untuk mengingatkan dan meluruskan sesuai kemampuan kita.

So Keep Calm. Be a rational and  professional voter ciyeeeee.

Naah setelah 4 tahun berlalu sejak hari H itu dan ternyata salah satu pilihan kami yang kemudian memimpin negeri ini. Kami berdua bahkan seperti lupa kalau kami sempat berbeda pilihan. Iya karena yang terpilih (tebak pilihan saya atau suami?) ternyata bukan manusia sempurna juga. Banyaak kekurangan yang masih harus diselesaikannya selama masa menjabat, di sisi lain sudah banyak juga upaya kemajuan yang telah diwujudkannya. Yang kurang kita harus kritisi agar menjadi catatan perbaikan dan yang sudah berhasil tentu perlu kita hargai tanpa memuja secara berlebihan.

Catatan selama pilihan atau bukan pilihan kita bekerja juga pada akhirnya menjadi referensi kita pribadi untuk menentukan pilihan berikutnya. Menjadi catatan kita untuk semakin berhati-hati dengen preferensi kita maisng-masing.

Tidak masalah kita berbeda pilihan. Yang terpenting kita memilih dan menunaikan kewajiban kita. Jangan buta politik dengan tidak menggunakan hak pilih. Karena kita bertanggungjawab untuk kebaikan negara ini ke depannya. Sekaligus kita bertanggungjawab mendidik anak menjadi calon pemilih yang baik dan rasional.

Baca juga: Buta Politik, Jangan!

Untuk yang memiliki preferensi yang sama dalam satu keluarga. Maka sebetulnya tugasnya yang lebih berat adalah menjadi adil dan mengajarkan anak-anak untuk adil terhadap apa yang kita pilih dan apa yang tidak kita pilih. Yakin pilihanmu paling benar di mata Tuhanmu? Allahu a'lam... Kita hanya berusaha memilih yang lebih sedikit madharatnya dan kalau bisa lebih banyak manfaatnya. Bahwa pilihan kita pasti yang terbaik, rasanya agak berlebihan.

Coba kenali sosok-sosok politik masa lalu, dari masa ke masa. Apa iya sih semua sempurna, semua baik atau sebaliknya semua buruk, semua jahat? Ya mereka juga manusia kan ya? belajar yang baik-baik itu yang paling penting sih. Banyak sosok politik dengan banyak kebaikan yang mereka punya yang bisa kita jadikan pelajaran bahkan dalam sosok yang tidak populer atau bahkan sosok yang mungkin tidak disukai publik yang bisa jadi karena peran "pencitraan politik' juga. Bahkan dalam buruk dan gagalnya sekalipun, bukankah kita belajar?

Percaya deh, gak ada pemimpin politik yang sempurna. Jangan pula karena memang Ia tidak sempurna di mata kita kemudian kita mengolok-oloknya sedemikian rupa. Sebaliknya menganggapnya sempurna tanpa cela adalah hal yang musykil. Yang pasti memimpin itu pekerjaan yang super berat, sangat berat. Kamu sanggup gak?  Jangan deh, cukup Dilan saja. Halahhh apa sih?

Jika dalam satu kategori, pilihan kita mungkin lebih baik maka alhamdulillah. Iya karena semua kebaikan datangnya dari Allah bukan? Lalu pada kategori tertentu Ia tidak lebih baik, maka apa untungnya menutup-nutupinya dan membelanya mati-matian. Jadilah pemilih yang adil bagi yang kita pilih. Naah ini berlaku vice versa pada yang "bukan pilihan kita".

Hmm kalau boleh, mumpung puasa, yuuk deh Kita kaji Qur'an Surat Al Hujarat ayat 11 ini.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kaum lelaki dan perempuan mengolok-olok yang lain, boleh jadi yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah kefasikan sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Hmm berat yaa, jadi orang tua? Pastinya. Yang paling berat sebetulnya mendidik diri sendiri yaa. karena saat sudah bisa mendidik diri kita, insyaAllah anak-anak kan cenderung mengikuti yang dilihat. Children see, children do.

7 comments

  1. iyo mak capek ngikutin orang saling serang. wes pokoknya nunggu tanggal 22 aja. siapaun yang jadi presiden kita dukung 1000% ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. benerrr...pusing ya mak nyimaknya... kebencian yang gak berdasar kayak gitu justru tidak baik secara psikologis buat kita sebagai bangsa yang satu ke depannya...mirisss deh

      Delete
  2. Ya Mak. Saya juga capek baca status teman-teman yang mendadak jadi politisi. Lelah!!! kirain setelah 9 Juli akan dah selesai dan berdamai lagi eh ternyata lanjut gegara semua capres klaim kemenangan. Ya sudahlah ya... mau ngotot kayak apa, The Indonesian next president dah tertulis lho di lauful mahfudz :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya... kalah menang harus kesatria menerima ya mak...ngotot apalagi gak pake "logika rasional" juga bikin orang lain bete kan yaaa

      Delete
  3. Pentingnya saling menghargai sebuah perbedaan.. Keren mbak

    ReplyDelete
  4. Seandainya semua org bisa kayak kamu ya mba.. Damai banget ini negeri..

    Masalahnya, kdg di kita udh waras, udh adil, ga terlalu memuja membabi buta, eh tapiii anggota keluarga lain malah manas2in dengan kirim link hoax lah, provokasi lah, beneran ngajak ribut pas mau makan... Duuuh, sedih aku. Aku terpaksa kluar dr grub keluarga, krn ga tahan baca apa yg mereka bahas di sana. Mau negur tapi kok ya sepertinya aku sedniri yg beda pilihan. Akhirnya kluar aja lah. Pikiranku bisa lbh adem

    Kmrn baruuu aja kaka ipar nyaris ribut ama om, cm gara2 ini :( . Kitanya sampe nasehatin si om, supaya ga diambil hati apa yg dibilang si kaka ipar :(

    ReplyDelete
  5. Harusnya kita sama-sama saling legowo ya, Mbak.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.