Suamiku Tukang Bubur Ayam (Repost)

Saya mengenalnya sebagai tetangga yang sama-sama berstatus “anak kost” atau “anak kontrakan”. Sejak menjadi mahasiswa dia memang sosok laki-laki yang “tidak mau diam”, terlihat banyak kegiatan, aktif di sana, aktif di sini. Berbeda dengan saya yang hanya mahaisiwi yang fokus belajar dan menyelesaikan kuliah tapat waktu dengan nilai yang tidak memalukan, agar tidak membebani keuangan keluarga saya yang bersahaja. Mungkin itulah alasan utama kenapa saya dulu menerimanya menjadi teman dekat dan akhirnya mengangguk setuju atas permintaannya untuk menjadi pendamping hidupnya. Tentu saja setelah saya diberi waktu berpikir beberapa hari, dan sayapun sudah mengkomunikasikannya pada Sang Penentu Jodoh, melalui shalat istikharah. InsyaAllah dia akan menjadi imam yang baik bagi saya dan anak-anak saya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Sekarang, tidak tersisa rasa malu dan risih, saat saya harus mengatakan pada orang-orang bahwa, SUAMI SAYA TUKANG BUBUR, tepatnya suami saya berjualan bubur ayam di salah satu stand di depan sebuah mini market. Saya bangga, saya bangga atas kekuatan hatinya menjalani apa yang diyakininya dengan penuh tanggung jawab. Saya bangga, mendampingi ayah dari anak(-anak) saya yang ingin menafkahi kami dengan cara yang halal, meskipun awalnya, kami - tepatnya saya - diliputi keraguan.


Semua bermula saat lembaga pendidikan tempat ayah bekerja dan mengajar secara tidak terduga mengalami kebangkrutan. Ayah sangat terpukul, meskipun ayah bukan pemilik lembaga tersebut, namun ayah salah satu dari pendiri dan penggerak sampai lembaga ini maju pesat dalam waktu yang relatif tidak lama. Ayah total mengabdikan diri untuk memajukan lembaga tersebut. Bahkan ayah menolak untuk mencoba pekerjaan yang lebih pasti seperti menjadi Pegawai Negeri Sipil, seperti saya. “kayaknya gak cocok deh bund, terlalu birokratis dan ah kayaknya gak cocok sm kepribadian ayah deh bund…, laen kali aja ya?”begitu kira-kira jawabannya ketika suatu kali saya mencoba menginfokan adanya posisi yang cocok dengannya dalam penerimaan calon pegawai negeri di suatu instansi. “yah sudahlah…yang penting bunda sudah sampaikan ya yah…”, “ayah juga sudah tahu kok, info itu bund…tp blom tertarik…gak apa-apa ya bund?”…



Dan saat salah seorang di manajemen lembaga itu ternyata melakukan “korupsi” yang tampaknya cukup parah, lembaga itu lambat laun runtuh, ayah dan beberapa rekannya yang masih memiliki komitmen berusaha melakukan perbaikan namun tampaknya sia-sia…sungguh amat disayangkan, akhirnya kenyataan pahit itu tetap terjadi. Lembaga itu tutup…bahkan sebagian tabungan pribadi yang ayah keluarkan untuk mencoba memperbaiki kondisi keuangan lembaga, pun habis, tanpa ada perbaikan.

Duh Gusti, rasanya dunia hampir runtuh, ayah terpukul dan terpuruk sekali waktu itu, padahal kami baru saja mendapat rezeki, kehadiran Alif…buah hati kami yang pertama dan baru saja melalui tahun pertama masa cicilan rumah yang kami ambil ketika kami tahu akan ada anggota keluarga baru yang akan melengkapi kami. Tapi bukan ayah kalau tidak bangkit…Dia terlihat tetap sibuk, kesana kemari. Saya tidak berani bertanya terlalu banyak… saya hanya menunjukkan kalau saya mensupportnya…saya kembali tawarkan padanya untuk mencoba menjadi PNS, biasanya akhir-akhir tahun memang ada penerimaan calon pegawai. Tapi ayah hanya tersenyum, “kita lihat saja nanti ya bund…”

Sampai suatu malam, ayah meminta waktu khusus untuk berbicara, setelah saya menidurkan Alif. Saya menangis tanpa bisa menjelaskan kenapa saya menangis. “memang tidak ada alternative lain yah?” begitu awalnya pertanyaan saya setelah mendengar penjelasannya panjang lebar tentang rencananya. Ayah berencana untuk berjualan bubur ayam. Dia melihat peluang tersebut cukup bagus, sudah dihitung-hitung dengan matang katanya. Kebetulan ada stand kosong di depan salah satu mini market di pertigaan jalan menuju perumahan kami. Strategis katanya. Tapi kenapa harus bubur ayam yah? Selain bisnis adalah bidang yang sangat baru baginya, kenapa harus bubur ayam yang jadi pilihan?. Ayah menjelaskan dengan panjang lebar dan cukup masuk akal sebetulnya, kalau diterima dengan hati lapang. Agak terkaget-kaget juga, ayah yang bidangnya adalah pendidikan luar sekolah bisa hitung-hitungan akuntasi seperti itu…”hmm bunda sangsi ya..”begitu katanya, rupanya menangkap kegalauan hati saya. “jelek-jelek gini, ayah kan pernah mengcreate sebuah lembaga pendidikan dan maju…sama-sama bisnis juga bund…yang satu bisnis pendidikan yang ini bisnis makanan hahaha…”. Antara kagum dan miris melihatnya tetap optimis dan bisa tertawa…meski ragu kemudian saya cuma bilang bahwa saya akan berusaha melakukan yang saya bisa untuk mensuport idenya. Saya mencoba menyingkirkan perasaan dan bisikan ketidaknyamanan. Yang paling sulit adalah menghadapi keluarga besar saya dan temen-teman…apa yang harus dijelaskan bila muncul berbagai pertanyaan…hufffh…dada saya terasa sesak. Tapi melihat optimisme dan semangatnya, saya tidak bisa memilih untuk tidak mendukungnya.

Zaman “muda”nya dulu memang ayah pintar memasak. Saya kalah jauh deh…sambel buatannya mantap. Maklum ayah harus mandiri sejak dini. Sejak SMP sudah merantau dan menumpang di rumah uwak-nya..begitu sampai selesai SMA dan mengontrak rumah bersama beberapa teman perantaunnya di kampusnya dulu. Jadi basically, ayah punya bakat memasak dan yang pasti mampu mengenali rasa. Selain itu  menurut ayah, modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar , Alhamdulillah masih ada sisa-sisa tabungan, meski harus terkuras namun ayah berjanji akan mengisi kembali tabungan tersebut. “kita berdo’a ya bund…semoga  lancar, mungkin membutuhkan waktu, tapi InsyaAllah bisa ayah kembalikan pinjaman ayah sama bunda ya…” Ayah menyebutnya pinjaman, karena tabungan itu memang atas nama saya, dan pos penyimpanan yang diniatkan untuk keperluan jangka panjang. Selain itu disekitar daerah tersebut, ayah belum melihat ada orang berjualan bubur ayam, memang ada yang jual berkeliling tapi hanya pada pagi hari. Kalau sore atau malam hari, untuk bisa makan bubur ayam warga sekitar, paling dekat harus membelinya ke Pasar.

Dengan rasa was-was, takut tidak laku, adakah yang membeli, apakah rasa buburnya pas dan seterusnya terus menggelantungi perasaanku pada awal-awal bulan usaha ayah. Semua kita kerjakan sendiri, tepatnya ayah kerjakan sendiri. Saya dan Bi wiwik hanya membantu. Dari 4 Kg beras sehari sampai 20 kg beras perhari…Alhamdulillah…ya Rabb…perjuangan ini terasa nikmat… ayah berhasil menjalankan roda usahanya, dari satu stand menjadi dua stand…satu stand lagi di dekat Polsek, yang kebetulan juga dekat dengan perumahan kelas menengah. Ayah kenal dengan salah satu polisi di Polsek tersebut dan mengabari ada peluang bisnis di sana. Sekarang ayah mempekerjakan 3 orang anak muda dari kampungnya untuk membantu. Untuk sementara semua tidur berdesak-desakan di rumah mungil kami. Rumah jadi ramai dan sesak saat semua ada di rumah.

Ayah sangat kreatif…stand bubur ayam “ALIF”, tidak hanya menjual bubur ayam di pagi hari, tapi juga buka dari mulai ashar sampai malam, - dua shift. Shift pertama, pagi sekali dari jam setengah 6 sampai jam 10-an..lalu ba’da ashar sampai malam. Alhamdulillah sekarang sudah banyak pelanggan. Rumah pun jadi selalu ramai karena ada saja yang harus dikerjakan, pastinya Alif tidak merasa kesepian saat saya tinggal bekerja. Selain Bi Wiwik kami menambah satu asisten khusus untuk menangani Alif, masih saudara Bi Wiwik juga.

Butuh waktu untuk bisa menengadah dengan bangga kepada orang-orang bahwa betul suami saya berjualan bubur ayam atau menawarkan dengan percaya diri pada teman-teman sekantor atau family jauh saya untuk mampir ke stand bubur ayam ayah. Suatu kali ayah bertanya “bunda sudah tidak malu kan punya suami tukang bubur?”…saya tidak menjawab, hanya menangis tersedu-sedu…tidak mampu menahan rasa haru. “Maafkan bunda ayah….” Sejujurnya perasaan itulah yang paling dominan menghadapi masa-masa sulit ini. Kenapa harus berjualan bubur ayam? Tapi itu dulu, ayah kemudian menyampaikan pada saya, bahwa ini langkah awal menuju cita-citanya yang lebih besar. Kalau dia bisa mengumpulkan modal dia tetap tidak ingin menyia-nyiakan ilmu yang di perolehnya di bangku kuliah, mendirikan sutu lembaga pendidikan. “Bentuknya seperti apa, masih dirancang bund…melihat prospek, lokasi, kemampuan dan banyak lagi…kali ini ayah berniat memulai dari diri sendiri, doakan bund”. Saya kagum pada semangatnya. Sejak itu saya merasa terpecut, saya harus bisa membantu mewujudkan mimpi dan niat baikknya. Sampai suatu kali saya pernah membawa romongan dari kantor untuk makan bubur ayam “Alif”… Ayah agak kaget karena memang baru dikabari beberapa saat sebelum rombongan berangkat…pada jam pulang kantor. Saya tidak malu lagi…suami saya tukang bubur ayam…dan saya bangga padanya. Ayah Alif yang selalu bersemangat….

Jum’at 21 Januari 2010, terinspirasi oleh Tukang Bubur di Depan ****MART…

*Fiksi ini saya tulis dan post di blog MP sy yang sudah almarhum, Januari 2010. Jujur, membacanya lagi membuat saya menitikkan air mata, persis seperti saat saya menuliskannya dulu...Repost ke blog ini, karena saat membacanya seolah tidak percaya saya bisa menulis dan menyentuh hati saya dengan tulisan ini.... (hmmm modus). Iya saya kok seperti tersentuh oleh semangat ayah Alif dalam fiksi mini ini untuk langkah dan tujuan yg lebih besar....SMANGADDD Bunda Paksi...:)

7 comments

  1. kirain beneran mak..saya juga kalau liat tulisan lama suka suprised....:)

    ReplyDelete
  2. Oalah..ternyata fiksi ya...??? sudah mengharu biru aja nih..hi..hi...

    ReplyDelete
  3. Tulisan fiksi mak Ophi begitu kuat sampai terharu membacanya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih mak Christanty...waktu itu nulisnya dari hati...

      Delete
  4. Makasih ya sangat bagus sekali untuk menambh pengengetahuan kita semuanya
    Bunga rosella

    ReplyDelete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.