Buruh Migran Indonesia, Saat Posisi Negara antara Ada dan Tiada.


Tahun 2008 saya mendapat tugas selama seminggu ke Qatar, salah satu negara Terkaya di Timur Tengah. Pada saat pertemuan di rumah duta besar Indonesia. Sambil ikut menyibukkan diri dan beramah-tamah dengan tuan rumah, tetiba ada kejadian cukup unik ketika seorang wanita paruh baya dengan wajah polosnya tampak terbengong-bengong kebingungan saat Ibu Dubes (saat itu Ibu Rozy Munir) meminta tolong diambilkan sesuatu dari dapur.

Setelah dijelaskan berulang kali barulah si ibu paruh baya itu bergerak menuju dapur. "Yah begitulah mbak, bukan cuma satu lhoo, kita ketitipan banyak banget yang kayak begini, gimana kita gak bingung bahasa Indonesia saja dia gak paham, aplagi bahasa Arab, Yaa wajar kalau akhirnya ada masalah dengan majikannya. Komunikasinya saja sudah gak nyambung..." 

Saya kaget luar biasa, duuh kok bisa sih sampai ke Qatar. Bahasa kan basic banget untuk modal kerja di luar negeri. Ibu paruh baya tadi memang buruh migran atau secara hukum disebut sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), berasal dari satu desa di Kabupaten Cianjur. Jangankan berbahasa arab, berbahasa Indonesia saja gagap. Yaa cuma paham bahasa sunda saja. Ibu Dubes yang tak biasa berbahasa sunda saja kesulitan berkomunikasi.

"Mengerikan, bagaimana PJKTI bisa meloloskan ibu paruh baya tadi sampai ke Qatar". Jikapun sudah dilatih ketrampilan pekerjaan domestik, yang saya yakin pelatihannya pakai bahasa Indonesia, pastinya mereka harus bisa percakapan dasar dengan bahasa arab dung, kok bisa lolos dan berangkat yang seperti ini?? Nasib orang kok dipermainkan. Meski mampu membayar untuk diberangkatkan kenapa jika persyaratan mendasar tidak terpenuhi seharusnya jangan diberangkatkan. Setidaknya dilatih dulu sampai bisa. Pun bukan hanya satu, Ibu Dubes cerita banyak sekali kasus semacam ini. Hmm belum di negara-negara lain.


Lain lagi dengan Mae, panggilan teman satu SD saya di Kampung. Sempat kami bertetangga sebelum akhirnya dia pindah ke kampung sebelah. Teman saya ini pintar, meski sangat pemalu, pendiam dan tak percaya diri. Saya kaget saat saya Kuliah ke Jakarta mendengar dia bekerja di Timur Tengah, lupa persisnya negara mana. Tapi seingat saya, Mae yang hanya mengenyam bangku sekolah di tingkat SMP atau Tsanawiyah ini memang pintar berbahasa Inggris. Kayaknya dulu sayapun kalah. Cara belajar otodidaknya cukup unik, kamus Bahasa Inggris dan radio siaran berbahasa Inggris. Saya hanya mendengar kesuksesannya dari cerita Ibunya yang hampir selalu bertemu saat lebaran karena saya mudik dan lebaran di kampung. 

Meski tak pernah pulang, namun keluarganya selalu mendapat kabar baik (dan kiriman) dari Mae secara rutin. Mae beruntung majikannya orang yang sangat baik, berpikiran terbuka dan sangat menghargai orang. Sosok yang jarang saya dengar tentang majikan buruh migran di sektor domestik. Kelebihan Mae dalam berbahasa Inggris juga menjadi nilai lebih, karena majikannya mempercayakan anak-anaknya pada Mae termasuk dalam mengajari pelajaran sekolah yang kebetulan bersekolah di sekolah internasional, mungkin semacam bilingual school begitu.  Ah syukurlah Mae bisa membawa diri dalam pekerjaannya di negeri orang. Banyak kabar buruk tentang buruh migran kita di sana sering membuat saya ketar ketir. 

Pun bukan hanya Mae, di kampung saya di Cirebon lumyan banyak wanita yang bererja di sektor domestik di luar negeri. Dengan beragam ceritanya. Sukses merubah hidup dan membangun kemapanan, namun tak sedkit cerita memilukan. Baik saat bekerja di negeri orang maupun saat kembali ke tanah air. 

Meski buru migran identik dengan TKW atau tenaga kerja wanita yang bekerja di sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga, namun saya mengenali beberapa tenaga kerja pria. Salah satu tetangga yang masih terhitung saudara, Sebut saja A. Menjadi pekerja migran di Hongkong selama sekitar 4 tahun, kalau saya tidak salah. Sebetulnya A menggenggam gelar sarjana.

Namun sejak lulus kuliah A memilih berwiraswasta, tampaknya naik turun gelombang ekonomi membuatnya memberanikan diri mengadu nasib di negeri orang untuk pekerjaan yang bukan bidangnya. Tentu saja A bukan orang pertama, dia pergi bersama rekan lain yang sudah berpengalaman menjadi TKI di sana. Tujuannya mengumpulkan modal untuk meningkatkan usahanya.

Sosok TKI pria lainnya yang cukup saya kenal. Rekan semasa kuliah S1. Sudah belasan tahun mengembara di beberapa negara di timur tengah sebagai pekerja di sana. Memang pekerjaannya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Namun latar belakang pendidikan dan kemampuannya berbahasa inggris menjadi nilai tambah baginya. Dari pekerjaan yang dilakukanpun masih kategori "skilled labour", bukan di sektor domestik. Saat ini posisinya di Qatar, kami masih sering berkomunikasi.

Meskipun sudah merasa nyaman dengan pekerjaan dan gaji yang diterimanya, sebetulnya AB (sebut saja demikian) sesungguhnya selalu ingin bisa bekerja di tanah air. "Entah kapan teh, saya berani kembali ke kampung dan menciptakan usaha sendiri. Meski ingin pulang, tapi saya belum bisa dan siap meninggalkan pekerjaan ini". Begitu curhatnya pada saya. Dia selalu bilang saya beruntung. "Ahhh alhamdulillah...rumput tetangga selalu lebih hijau Kang", begitu kata saya menghibur.

Apa yang saya pahami tentang buruh migran Indonesia, BMI, TKI atau TKW khususnya semakin menguat ketika pada tahun 2010 hingga awal 2013 saya mendapat tugas mendampingi anggota Komisi IX menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Jujur, pendampingan di tim ini salah satu pengalaman terberat saya, bukan hanya karena lamanya waktu penyusunan.

Dari mulai saya belum hamil anak ketiga sampai anaknya berusia hampir 2 tahun. Saya juga ingat Ibu Rieke Diah Pytakola juga mengawal penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) ini dari sejak belum hamil, sampai si kembar lahir. Beliau salah satu anggota Panja RUU tersebut. Selain waktu, isu yang sangat complicated dan berat, belum lagi tarik menarik kepentingan yang luar biasa kuat terkait RUU ini cukup melelahkan. 

Saat itu RUU ini sudah sampai pada pembahasan Tingkat I antara DPR dan Pemerintah. Namun dari Daftar Inventarisasi Masalah yang disampaikan Pemerintah saat itu terlalu banyak perbedaan pendapat antara keduanya. Perbedaan pandangan mencapai 80% lebih. Sehingga pembahasan RUU ini berhenti di tengah jalan tanpa sebab yang jelas sebelum berakhirnya periode keanggotaan DPR 2010-2014. RUU ini kemudian diajukan kembali pada Prolegnas 2015-2019, dan menjadi salah satu prioritas di 2015. Kali ini saya tidak lagi ditugaskan mendampingi pembahasan RUU ini, namun saya belajar banyak dari pengalaman periode lalu. Bahkan saya sempat menulis artikel di jurnal ilmiah tentang tema ini, buah pikiran dari apa yang saya dapat dari proses tugas pendampingan tersebut.

Dari sisi hukum, saya sepakat dengan beberapa hal yang menjadi garis besar perubahan yang diusung oleh anggota DPR Periode lalu terhadap Undang- Undang No.39 Tahun 2014. Komersialisasi buruh migran kita memang saat kentara dalam Undang-Undang tersebut. TKI menjadi objek bisnis, mekanisme penempatan mulai dari perekrutan hingga sampai kepada pengguna sangat bisnis oriented. Tampak sangat besar peran swasta dalam proses ini yakni PJTKI, Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Kata "penempatan" pada judul Undang-Undang yang diletakkan di depan didahulukan dari kata perlindungan, tampaknya mewakili isi undang-undang yang lebih menekankan pada tata niaga TKI ketimbang perlindungannya. 

Lalu dimana peran Negara?? sekedar pemberi stempel?? saat terjadi banyak permasalahan buruh migran saja?? bagaimana pengawasannya hingga ribuan kasus semacam Ibu paruh baya di Qatar tadi bisa terjadi? pemalsuan data bukan hanya usia yang jauh lebih penting adalah kemampuan dasar atau bahkan latar belakang pendidikan. Dari apa yang saya kenali tentang para buruh migran, kemampuan atau skill-lah yang membuat mereka memiliki bargaining position di luar sana. Seharusnya hanya yang punya skill saja yang bisa berangkat, termasuk skill di sektor domestik. Bukan untuk  membatasi hak bekerja namun justru untuk memperkuat posisi tawar dan melindungi mereka.  

Belum lagi dualisme kelembagaan dalam Undang-Undang dengan kewenangan dan tugas yang saling tumpang tindih membuat buruh migran makin tak tertangani dengan baik. Menjadi rahasia umum Kementerian Ketenagakerjaan dan BNP2TKI dengan tarik menarik kewenangan yang rasanya tak membawa terang bagi nasib buruh migran kita. Mana regulator mana operator?, lalu mengapa PJTKI justru lebih banyak berperan mengelola "penempatan" TKI kita, Sebagai perusahaan tentulah profit yang menjadi orientasi. Lalu perlindungan, siapakah yang seharusnya melakukannya?

Dari fakta yang saya dapati secara langsung dan dari berbagai berita yang saya dapati, Buruh Migran kita yang masih selalu disanjung-sanjung sebagai penopang devisa tetapi tak juga mendapatkan titik terang nasibnya saat mereka sendiri tak mampu menopang diri dengan kekuatan dan ketrampilannya.  Salah satu bentuk perlindungan yang mendasar menurut saya adalah membekali para buruh migran yang hendak bekerja keluar negeri dengan kemampuan, ketrampilan dan keahlian yang memadai. Terlebih era pasar bebas dan tunggal semacam MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) akan semakin menglobalnya dunia kerja.

Kapasitas dan kemampuan TKI menjadi keharusan agar daya saing dan posisi mereka tetap terlindungi. Seharusnya saat mereka mampu berdaya saing berbagai jenis kasus kekerasan (fisik, psikis dan ekonomis) dapat dieliminir. Di sinilah peran negara, sejak awal perekrutan hingga mereka kembali ke tanah air. Semoga kedepan Negara tak lagi menjadi antara ada dan tiada bagi para pejuang devisa ini. Negara harus hadir dan menunjukkan kepeduliannya.


22 comments

  1. Tuh...kan bener...baca tulisanya Mak Ophi kayak ikut kuliahnya...asyikkkk...moga menang ya Mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha bisa aja mak Muna. Makasih yaa..tulisan mak Muna juga asyiik lhooo

      Delete
  2. Ah. Tulisannya Mbak dalam mbak. Moga menang ya.

    Soal MEA. Saya sendiri sempat tukar pikiran sama teman sy yang di HRD. Bagaimana org luar dg mdh masuk ke Indo utk posisi yang sbnrnya masih banyak org Indo sendiri yang kompeten. Tapi di sisi lain, org Indo ke luar susah karena negara itu melarang posisi itu diisi oleh org asing karena mereka punya "supply" nya. Gak sepenuhnya salah pemerintah sih. Tapi juga dunia korporasi yang suka dg org luar dibanding org sendiri.
    Febriyanlukito.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Ryan...
      MEA sesuatu yg tdk terelakkan...ketika SDM negara ASEAN lain sudah jauh hari mempersiapkan diri terkait dg sertifikasi setiap jenis profesi misalnya SDM kita bahkan blm tahu apa itu MEA.
      Mungkin bukan proteksi dr orang asing..jangan2 krn kulaifikasi kita yg tdk masuk. Sementara mrk sdh jauh hari mempersiapkan kualifikasi tersebut.
      Memang jadi lebih berat tantangan bagi kita yg msh terseok2 menata diri.

      Delete
  3. Kadang apa yg kita pelajari di PJTKI tak sama dengan kenyataan disana mak,
    Saya dulu mau berangkat pinter cas cus bahasa Hong Kong tapi sampai sana ya melongo doang ndengerin majikan ngomong :)

    Semoga menang ya mak,,,, tulisannya keren :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah mak...klo menurut saya sih pendidikan dan pelatihan harusnya jd tanggung jawabnnya negara. Memastikan setiap pekerja yg berangkat memenuhi kualifikasi yg seharusnya. Klo PJTKI mohon maaf mungkin kejar setoran yg penting bs berangkat utk memenuhi demand dr luar. Lagi2 bisnis oriented tadi.
      Makasih mak...
      Salam kenal. Skrg msh di Hong Kong kah???

      Delete
  4. I do agree with many points here, ada banyak PR besar yang harus dibenahi, mulai dari urusan persiapan tenaga kerja hingga penempatan dan saat mereka kembali, termasuk grand design untuk perbaikan ekonomi, penanganan pengangguran dan peningkatan kapasitas SDM kita. Tapi jangan lupa..negara tidak bisa bekerja sendirian. Tanggung jawab negara sebagai primary bearer tidak akan bisa maksimal jika terlalu banyak orang-orang, di dalam maupun di luar pemerintahan, yang masih suka seenaknya mencari keuntungan pribadi. Btw, sukses lombanya mak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mak... bagaimanapun negara harus berpartner tidak bs juga bersolo karir hehe...tp itu tadi pemerintahnya harus solid dan punya visi yg sama tentang buruh migran ini menurut saya. Pun memang dr hulu smp hilirnya harus ditata sedemikian. Jangan diurus utk berangkat stlh kembali tak ada upaya pembinaan.

      Delete
  5. Yup, seharusnya gt ya mak..sblm brgkt tki harus punya bnyak bekal, slh saatuny adlh ketrampilan.
    Sukses y mak..smoga hak pra buruh migrant lebih diperhatikan amin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiin... semoga ada kebijakan yg jelas terkait perlindungan BMI kita mak. Hulu smp hilir

      Delete
  6. Ada baiknya pemerintah dlm hal ini Disnaker bekerjasama dg PJTKI memberi semacam diklat sebelum mereka berangkat ke luar.
    Sukses lombanya mak Ophi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dinas kabarnya jg lemgadakan diklat tertentu mak. Tp yg slama ini kena kewajiban diklat mmg PJTKI tp dlm praktiknya "banyak" yg tak menjalankan sebagaimana mestimya sehingga banyak kasus di kemudian hari mak.
      Makasih maak

      Delete
  7. Setuju banget mbak Ophie, tulisannya keren!

    ReplyDelete
  8. Setuju banget mbak Ophie, tulisannya keren!

    ReplyDelete
  9. Ngeri2 sedep baca fakta tentang PJTKI yg gampang meloloskan calon TKI-nya Mak. Dulu, bos sy jg punya kantor PJTKI plus BLK sendiri. Tiap hari sy interaksi sama calon TKI yg dalam proses penampungan dan pendidikan di BLK yg satu lokasi sama kantor. Biasanya, rata2 3-4 bulan pendidikan baru bisa 'terbang' ke negara tujuan.

    Eniwei, tulisannya keren Mak. Semoga menang yaa ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Faktanya banyak mak PJTKI yg spt itu meski sy yakin gak semua. Kalau mrk taat pd prosedur sajapun masalah pasti ada saja krn mmg tdk sepenuhnya permasalahn di sana. Tp setidaknya bs meminimalisir permasahan n kasus3 yg bakal ditemui TKI di sana. Makasih sharingnya mak. Thx jg supportnya

      Delete
  10. Tulisannya keren mbak ophi, saya bacanya kaya lagi baca materi perkuliahan gitu...Kumplit dan berbobot. Semoga menang ya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih mak...
      Alhamdulillah belum menang mak.

      Delete
  11. Betul, Mbak.. Kebanyakan peraturan pemerintah Indonesia rada ngga mendukung penuh buat kerja di luar negeri.. Yah semisal basic Bahasa Inggris yang ngga semua orang bisa kan.. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya say... belum mensuppoort secara nyata. Pdhal support tersebut merupakan bagian dr perlindungan jg

      Delete
  12. Miris ya Mak dengar kabar buruk dari buruh migran di luar negeri. Ya, masalahnya sangat kompleks. Mereka pun sebenarnya lebih senang kerja di dalam negeri, tapi finansialnya banyak di sana :(

    ReplyDelete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.