Tjong A Fie Mansion: Simbol Sejarah Multi Etnis

Medan cukup terik hari itu. Ini hari terakhir saya di Medan sebelum kembali ke Jakarta. Hmm meski bukan kunjungan tugas pertama ke Medan, tapi rasanya saya memang belum mengeksplore kota Medan selama beberapa kali kunjungan . Dulu pernah ke Istana Maimun, sayangnya hari sudah malam sehingga  suasana Istana Maimun tak bisa tertangkap dengan baik. Hmm sayapun belum ngeblog saat itu sehingga tak ada kenangan yang tersimpan. Saya mendapat referensi dari seorang rekan untuk mengisi waktu yang cukup pendek sebelum pulang ada baiknya mencoba wisata tengah kota ke sebuah cagar budaya di Medan. Tjong A Fie Mansion. Waah jujur saya baru tahu. Sebelum mencari tempatnya saya sempat googling untuk memastikan.



Ah ternyata Mansion, “Istana”  atau rumah dari seorang milyuner legendaris yang berasal dari Tiongkok yang mencari penghidupan dan akhirnya membangun Medan ini ternyata tak jauh dari hotel Aston tempat saya menginap. Kalau Ibu mau jalan, lurus saja bu, deket kok. Namun kesulitan menyeberang jalan di Medan yang jujur bikin stress, membuat saya dan rekan memutuskan untuk menggunakan moda transportasi khas Medan, Bentor. Dengan Becak Motor, ternyata kami harus memutar karena jalan berlaku satu arah. Cukup membayar Rp.10,000 saja dari hotel Aston.  Sampailah kami ke sebuah bangunan yang tampak khas karena berbeda dari bangunan-bangunan di sekitarnya.

Sebuah gerbang dengan ornamen khas budaya Tiongkok menyambut kami. Ups ternyata bentornya bisa masuk sampai ke halaman dalam. Di bawah pohon Mangga yang rimbun abang bentor menurunkan kami. Tepat di depan meja resepsionis dari Tjong A Fie Mansion ini. Untuk masuk, berkeliliNG dan sekaLigus ditemani tour guide yang akan menjelaskan tentang sejarah rumah ini dikenai biaya Rp.35,000/orang untuk anak-anak dan pelajar dikenai Rp.20.000,-.


Di halaman rumah terdapat semcam prasati pencanangan rumah ini sebagai salah satu cagar budaya Medan. Dilengkapi dengan foto Tjing A Fie dan isterinya (Isteri ketiga). Tjong A  Fie lahir pada tahun 1860 dan meninggal  pad aTahun 1921  (61 tahun),  sementara sang isteri hidup dengan usia sekitar 92 tahun lahir pada tahun  1880 dan meningal  pada tahun  1972. Yang menarik dalam prasasti tersebut tertulis moto dari Tjong A Fie yang sangat luar biasa menurut saya:

There on the earth where I stand, I hold the sky.Success and glory consist not in what I have gotten but in what I have given
Bagian depan rumah yang dibangun diatas tanah seluas 6000m2 ini dibuka dengan sebuah pintu besar dengan kaligrafi china di kanan kiri dan bagian atas pintu. Menurut tour guidenya bangunan rumahnya sendiri sekitar 4500m2, terdiri dari dua lantai mencakup beberapa ruang tamu , ruang makan, beberpa ruang tidur, ruang kerja, perpustakaan, ball room, dapur dan beberapa ruang pembantu. Hampir seluruh ruangan dijadikan galeri dengan berbagai koleksi benda peninggalan keluarga Tjong A Fie, foto-foto dan dokumentasi lainnya. 


Setiap ruangan memiliki makna dan fungsi yang berbeda dilengkapi dengan berbagai dokumentasi yang menunjang. Mansion ini masih ditinggali oleh cucu cicit keturunan Tjong A fie dari anak yang ke tiga. Di luar ruangan yang diajdikan galeri, memang beberapa ruangan masih digunakan sebagai tempat tinggal.  Bangunan yang unik ini memang tidak bisa disebut sebagai bangunan dengan satu ciri khas karena Bangunan besar dengan arsitek yang sangat detail ini merupakan gabungan dari aristek Melayu, China dan Eropa. Setiap bagian dari bangunan dilengkapi dengan detail yang melatar belakangi  pembangunanya.Sangat beruntung Medan masih bisa memiliki bangunan dengan usia lebih dari satu abad ini sebagai bangunan cagar budayanya. Mungkin karena pihak keluarga memang menjaga dna merawat bangunantersebut . Foto-foto dan dokumentasi yang dipajang di beberapa galery kabarnya justru diambil dari Musium di Belanda.




Tong A Fie merupakan seorang pemuda tiongkok yang mengalami hidup yang keras. Keinginan membangun ekonomilah yang membuatnya merantau hingga sampai ke Medan. Seperti karakter orang Tiongkok yang pekerja keras dan sangat pandai berniaga, meski diawali dengan kerja keras akhirnya Tjong A Fie menjadi salah satu jutawan sekaligus menduduki jabatan penting pada masa itu serta membangun kota Medan. Pangkatnya sebagai Mayor tentu bukan kedudukan yang remeh. Perannya dalam membangun kota Medan, ide dan pemikirannya tentang keterbukaan akan multi etnis bukan sekedar di atas kertas. Pria ini bahkan mewujudkan ide multi etnis non diskriminatifnya dalam kehidupan keluarganya. Setelah ditinggal mati oleh isteri pertama dan kedua, Tjong A Fie kemudian mebikah dengan Isteri ketiga dan beranak pinak di Medan. Jarak usia  dari satu anak ke anak yang lainnya berjauhan.

Dari anak-anak Tjong A Fie banyak yang menikah lintas negara dan etnis, selain menikah dengan orang Tiongkok, menantu Tjong A Fie ada pula yang berasal dari Singapura dan Eropa bahkan beberapa keturunannya masih tinggal di Singapura dan Eropa. Dari sisi kepercayaan/agama, selain memeluk kepercayaan leluhurnya yakni Konghucu, keluarga besar anak cucu keturunan Tjong A Fie inipun multi religions, ada yang beragama Nasrani dan ada pula yang Muslim. Tjong A Fie memang seorang Mayor, Milyader dan Tokoh yang mengendepankan ide anti diskiriminatif serta terkenal akan kedermawanan dan kepeduliannya membangun Medan. Perayaan hari besar di rumah tersebut yang biasanya dilakukan dengan open house kabarnya tidak hanya pada hari besar kepercayaan Konghucu namun juga pada perayaan hari besar agama lain.

Selain berdasarkan cerita dari Tour Guide sosok kedermawanan dan multi etnis dari Tjong A fie bisa kita lihat dari berbagai foto dan dokumentasi yang dipajang di Galeri. Usaha yang dijalankan Tjong A Fie mulai dari perkebunan karet, kopi hingga perbankan.  Namun Tjong A Fie juga turut membangun kota Medan tanpa membedakan etnis dan agama. Mayor ini juga tampaknya sangat dekat dengan keluarga kesultanan Deli. Ada ruang tamu dan ruang makan khusus untuk menerima Sultan Deli di rumah tersebut. Bukti kepeduliannya terhadap Medan juga ditunjukkan oleh Testament yang dibuatnya. Testamen ini dipajang di salah satu ruang galery, berbahasa mandarin/China, Belanda dan Melayu ditandatangai di depan pejabat notaris.

Terdapat  hal penting yang menjadi isi testamen yakni kewajiban ahli warisnya untuk  mengurus upacara pemakamannya sesuai kepercayaan leluhurnya,  merawat kuil nenek moyang, membiayai ongkos upacara keagamaan Tjong A Fie; memberikan perawatan dan pendidikan anak keturunannya dari pihak laki-laki sampai derajat tak terbatas. Di luar kewajiban terhadap keluarga testamen ini juga mengamanatkan untuk memberikan semacam beasiswa pendidikan kepada siapapun tanpa mengenal batas golongan, agama dan etnis, memberikans edekah dan santunan dan membantu mana kala ada bencana. Yang sangat menarik, penekanan pada siapapun tanpa membedakan golongan, agama dan etnis  terasa sangat kental ide multikultur, multi etnis dan non diskriminatif yang dipegang Tjong A Fie. Untuk seorang yang lahir di abad 19 tentu bukan pemikiran yang sederhana.







Saat mengelilingi ruang demi ruang, kita akan melihat sosok Tjong A Fie memang bukan sosok sembarangan. Bahkan rumah tinggal yang dibangunnya ini sangat detail dengan fungsi ruang dan penataan ruang dan design yang sangat berkelas di zamannya. Berbagai furniture yang melengkapi juga banyak yang didatangkan langsung dari berbagai negara.  Terdapat beberapa ruang tamu dengan peruntukan dan fungsi yang berbeda, tergantung pada tamu yang akan ditemui. Yang mengesankan adalah adanya ruang terbuka di bagian tengah bangunan. Di kelilingi jendela-jendela dengan model yang unik di lantai atas. Selain sebagai sarana sirkulasi udara, ruang terbuka di bagian tengah ini seperti taman di dalam rumah. Sebelum keluar ke ruang terbuka ini, terdapat pembatas dan pintu semacam gebyok dengan motif ukir yang sangat khas, unik dan mewah. Kabarnya didatangkan dari Tiongkok.

Ruang-ruang tidur baik ruang tidur utama milik Tjong A Fie maupun milik anak-anaknya merupakan kamar tidur yang sangat luas dan besar. Selain tempat tidur, ruang tidur dilengkapi meja dan kursi keluarga, perpustakaan pribadi dan koleksi barang pribadi. Ruang makan yang terletak di bagian belakang merupakans alah satu ruangan favorit saya. Meja makan panjang dengan banyak kursi dan taplak meja berwarna merah dan berbagai ornamen khas Tiongkok sangat menarik. Dapur asli juga masih ada meski sudah tidak dipakai.

 Di lantai atas, ruangan yang paling mengesankan adalah sebuah ball room besar jendela-jendela yang mengarah ke depan bangunan. Ruangan ini biasa dipakai untuk mengadakan pesta-pesat semacam pesta dansa. Terdapat banyak poto juga di ruang ball room ini, termasuk poto-poto pernikahan anak-anak Tjong A Fie. Selain beberapa ruang tidur anak-anak Tjong A Fie, terdapat beberapa kamar pembantu, perpustakaan, ruang audio visual dan butik.


Mengelilingi rumah dengan ruang-ruang besar penuh galeri serta sejarah dan cerita di dalamnya ternyata tanpa terasa memakan waktu hampir satu jam. Kami segera menyelesaikan touring dengan turun tangga dan melihat beberapa ruangan di lantai satu yang agak terpisah dari bangunan utama yang juga dilengkapi poto dan dokumentasi pendukung. Medan beruntung pernah memiliki milyader multi etnis ini selain membangun Medans ecara fisik juga membangun karakter dan kepribadian bangsa yang multi kultur dan non diskriminatif.

21 comments

  1. Hmm....rumah peninggalan Chong Afie di Medan ini patut dijadikan cagar budaya dan dilestarikan ya...karena menyimpan rekam jejak sejarah masa kejayaan saudagar Cina masa lalu di Medan... Kalau di Palembang ada juga tempat mirip seperti itu...namanya Kampung Kapiten... Apakah Mbak Ophi singgah ke Kampung Kapiten sewaktu ke Palembang?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini memang jd cagar budaya medan mak.
      Enggak mak rita...sy ga dapet info ttg kampung kapiten
      Jd gak ke sana. Cm main sebentar ke pulo kemaro aja kkmrn

      Delete
    2. Hmm...sayang banget gak mampir ke Kampung Kapiten.. Tempatnya di pinggir Sungai Musi dekat Jembatan Ampera, tepatnya di seberang Benteng Kuto Besak dan Riverside Restaurant...

      Delete
  2. jadi inget film2 jaman dulu mbak hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak...bisa jadi setting film jadul deh.
      Zaman noni2 belande gt

      Delete
  3. Waaaa salah satu kunjungan menarik lainnya ke medan selain istana maimun.
    aku baru tau ttg tjong A Fie juga gedung ini mak.
    Selalu seru sebenrnya kalau berkunjung ke tempat-tempat wisata pake tour guide. Nggak cuman foto2 doang tapi tau seluk beluk ceritanya ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dulu smpt k istana maimun malah blm jaman ngblog..jd ga py reportasenya.
      Klo ada guide jd lbh menyeluruh infonya

      Delete
  4. waahhh rumah kuno gini udah langka banget yaaaa

    ReplyDelete
  5. Untungnya jd cagar budaya n msh dijaga n dipelihara sm anak cucu cicit keturunan tjing a fie nya

    ReplyDelete
  6. Dapurnya masih tempo dulu, apa masih digunakan,mbak?
    Kekuatan seorang tokoh masa lalu, yg membuat rumah keluarga ini dijadikan cagar budaya. Makasih udh berbagi informasi ttg tempat ini, baru tahu nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Engga mak..meski bentuk dapurnya msh asli termasuk cerobong asapnya tp sdh gak dipakai.
      Wasiatnya jg utk menjaga peninggalanya ini. Sama2..makasuh sdh mampir

      Delete
  7. rumahna cantik dan terpelihara ya mba, pengen kesana...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya salah satu cicit keturunannya yg masih tinggal di rumah tersebut. Dijaga dan diperlihara mak

      Delete
  8. Harusnya itu rumah bisa dijadikan salah satu cagar budaya yang ada di medan, biar terawat dan jejak sejarah tidka terlupakan begitu saja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang sudah jadi Cagar Budaya Medan kok. Hihi coba baca deh

      Delete
  9. bagus banget... semuanya juga masih terawat... saya juga baru tau kisah Tjong A Fie dari mak Ophi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mak masih terawat ada salah satu keturunannya yg masih tinggal dalam rumah itu yg masih merawat dan mengelola rumah tersebut

      Delete
  10. Hati2 dgn pembalikan fakta sejarah mak

    Coba fikir, bagaimana pula di zaman dulu ada orang asing (Tinghoa) yang kaya raya,,, kalau bukan menghisap darah dari rakyat Indonesia (khususnya di tanah Melayu Deli), apalagi Tjong A Fie itu adalah seorang saudagar!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waah kalau soal menghisap darah itu menurut saya gak liat etnis ya mas.
      Sy sih positif thingking aja krn bukti sejarah dr dokumentasi yg ada menggambarkan demikian

      Delete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.