Prinsip kepemilikan: “si tukang parkir”

Entah kemana saja aku selama ini, baru setelah sekian tahun aku ada di fananya dunia ini, akhirnya kutemukan sebuah prinsip yang mungkin sebenarnya dulu telah ku tahu namun tak ku resapi maknanya, hingga saat aku merasa perlu merevisi konsep kepemilikan yang aku pegang selama ini. Meski kesadaran itu datang setelah sekian realitas menghampiri bahwa semua yang kita pikir adalah milik kita, pada hakikatnya hanya sebuah titipan, semuanya, tak terkecuali bahkan nyawa yang melekat di raga kita.

Tidak ada kata terlambat untuk itu bukan? Meski harus terluka-luka dan menangis karena sekian kali kehilangan, ditinggalkan, diabaikan oleh sesuatu yang ku pikir telah jadi milikku. sampai suatu hari datang sebuah “kata-kata bijak” yang tak peduli dari mana dan dari siapa kata-kata itu dating, tapi sungguh maknanya telah memberi banyak kekuatan untukku mensikapi kehilangan atas sesuatu yang kadang kuyakini telah jadi milikku.
Si tukang parkir itu, telah menerima amanat ratusan kali dalam hidupnya, tak perduli mobil mercy keluaran terbaru atau Cuma carry butut jaman jebot. Di jaganya dengan penuh amanat saat mobil-mobil tersebut diparkirkan di wilayah parkirannya. Saat pemiliknya datang ia dengan suka cita dan penuh kerelaan menyerahkannya kembali. Sejak awal mobil tersebut dititipkan padanya sejak awal itu pula ia menyadari bahwa ia hanya diberi titipan untuk menjaga, tak ada kepemilikan mutlak atas mobil-mobil tersebut. Rasa memiliki itu hanya sementara sebagai bagian dari tanggung jawabnya menerima amanat. Tak ada beda baginya saat menyerahkan mercy terbaru dengan mengembalikan carry butut. Ia rela dan merasa telah selesai tugas menjaga mobil-mobil tersebut.

Dan harta, rumah, jabatan, suami, isteri, anak, sahabat, pacar, apalagi kepemilikan sekedar berdasar pertalian-pertalian tanpa nama. Semua bisa datang dan pergi ketika Pemiliknya “ Tuhan” menghendakinya. Lalu mengapa harus terus menangisi kehilangan dan kepergian. Lalu mengapa harus bergelut dengan kepengecutan, takut kehilangan, takut ditinggalkan. Bukankah Tuhan telah memasangkan ada dan tiada, jumpa dan pisah, datang dan pergi, genggam dan lepas, bahagia dan tangis, bahkan hidup dan mati.

Adalah manusiawi ada luka saat kehilangan, ada tangis saat kepergian, ada haru saat perpisahan. Tapi haruskah bergelut didalamnya menangisi sesuatu yang tidak Tuhan percayakan pada kita. Iya, kewajiban kita hanya menjaga sebaik mungkin, memelihara, membangkitkan, menumbuhkan dan semua proses dan usaha terbaik yang bisa kita lakukan untuk mempertahankannya. Selama Tuhan masih percayakan itu pada kita. Tapi bila ujung cerita dan hasil akhirnya berbeda dengan apa yang kita mau…maka mengapa tidak serahkan saja, percayakan saja pada-Nya.

Mengapa harus memelihara rasa takut dan pengecut. Kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Mengapa takut bila ada DIA di manapun kala kita merasa begitu sendiri. DIA yang tak pernah bosan menanti kita. DIA yang selalu membukakan pintu-Nya untuk kita, kapan pun. Bahkan disaat kita kadang mengingkarinya.

Biarlah semuanya, jabatan, harta, kedudukan, prestise, cinta, keluarga, suami/isteri, anak-anak, kekasih, sahabat, pacar atau apapun pergi bila saatnya harus pergi. Kewajiban kita adalah menjaga sebaik mungkin selama kita diamanatkan. saat usai tugas kita, saat Tuhan ingin mengambilnya dari kita. Mau tidak mau kita harus rela. Jangan menyimpan segala sesuatu terlalu dalam di hati kita, jangan penuhi hati dengan semua yang bisa datang dan pergi, beri ruang cukup luas untuk memuat hal-hal yang lebih penting dan lebih abadi. Sesutu yang akan menemani kita bahkan tatkala kita begitu sendiri. Sesuatu yang akan menerangi kita dalam gelapnya alam sesudah alam fana ini: “Pengetahuan akan Tuhan”.

No comments

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.