Si Naga Terbang, Bioindikator Air Kehidupan

Army Dragonfly, Sumber gambar dari sini

Tetiba ingatan saya pada hewan cantik yang jadi Favorit saya semasa kecil ini menjelajah jauh ke kampung saya di daerah perbatasan Cirebon, Kuningan, Majalengka, Iya Kampung saya memang secara administratif berada di wilayah Kabupaten  Cirebon, namun beberapa desa di sekitarnya sudah merupakan wilayah administratif Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. Dari belakang rumah Ibu saya, terhampar luas persawahan yang jika memandang jauh ke selatan tampak Gunung Ciremai gagah membentang.


pesawahan di belakang rumah

Saya jadi paham dan sedikit banyak menemukan jawaban, kenapa saya tak lagi atau jarang sekali menemukan binatang ini, akhir-akhir ini di kampung saya. Padahal dulu di masa kecil, saya sangat akrab dengan binatang ini, karena meskipun tak secantik kupu-kupu. Capung atau saya dulu menyebutnya Kinjeng, adalah binatang yang ramah, tidak berbahaya, lebih mudah ditangkap dan tidak identik dengan hal-hal yang jorok, menjijikkan atau menakutnya seperti serangga lainnya.




Dragonfly, Naga Terbang, yang masuk Ordo odonata ini ternyata adalah salah satu bioindikator, penanda air kehidupan. Capung menjadi indikator air bersih dan lingkungan sehat karena kehidupan capung tidak dapat dipisahkan dengan air. Begitulah kira-kira yang saya pahami dari tulisan di rubrik Iptek Kompas, 3 Januari 2014 lalu.  Jadi Capung dengan ratusan jenis spesiesnya merupakan penanda adanya sumber air bagi kehidupan di suatu tempat. Langkanya atau sulit ditemukannya capung-capung di suatu tempat yang semula menjadi habitat binatang ini menjadi salah satu penanda bahwa tempat tersebut telah mengalami perubahan lingkungan di mana kondisi air sudah tercemar dan menyebabkan terganggunya ekosistem Capung.

Capung merupakan serangga terbang pertama di dunia, muncul sejak zaman Karbon (360-290 juta tahun lalu) dan bertahan hingga sekarang. Capung tersebar di wilayah berair seperti pegunungan, sungai, rawa, danau, sawah dan pantai. Tidak heran jika di kampung saya saat itu banyak sekali capung. Di sekitar persawahan di belakang rumah tadi dipagari oleh perbukitan, sungai besar dan beberapa sungai kecil, kolam ternak ikan (balong) dan bahkan hampir setiap rumah penduduk memiliki kolam cuci dan mandi yang airnya mengalir dari sungai yang hulunya berasal dari sumber air pegunungan di sekitar kaki Gunung Ciremai. Saat itu, hmm 20-30 tahunan yang lalu.

Hari ini tepatnya awal tahun kemarin saya berlibur ke kampung dan kondisi sudah sangat jauh berubah, lebih tepatnya ada perubahan mendasar yang terjadi. Iya di belakang rumah Ibu saya masih terbentang persawahan, yang menurut info terkini bahkan sebagian akan digusur karena akan dibangun jalan alternatif yang menghubungkan antar desa melewati kampung saya tersebut. Dan posisinya tak jauh dari belakang rumah saya tersebut.  Oh bukan rencana pembangunan jalan tersebut yang saya maksudkan sebagai perubahan mendasar. Air, iya air di sungai-sungai, di kali-kali bahkan di kolam kolam yang jumlahnya semakin sedikit itu tak lagi bening seperti dulu. Airnya kini berwarna putih keabu-abuan, putih susu kecoklatan pekat. Iya karena sejak menjamurnya pabrik-pabrik batu alam di sejumlah desa di wilayah kami, air sungai tak lagi bening. Limbah pabrik batu alam itu dialirkan ke salah satu sungai besar yang alirannya menyebar ke berbagai kampung di wilayah kami :(. 

air kali tampak keruh karena limbah pabrik batu alam
Kondisi luar biasa ini terjadi setidaknya sudah hampir 15 tahun. Sejak dulu usaha batu alam sudah dilakukan tapi jumlahnya masih sangat terbatas dan 10 tahun terakhir kondisi ini demikian marak. Bahkan bukit atau gunung batu/karst yang menjadi sumber bahan bakunya telah tak serupa bukit lagi. Lebih dari separuhnya telah berubah bentuk menjadi ornamen-ornamen cantik dan mahal di berbagai komplek perumahan dan perkantoran mewah bahkan di ekspor ke mancanegara. Menurut kabar angin, saat ini pemodal utama (besar) dari kerajinan batu alam ini adalah para investor asing (Korea). Mengingat nilai ekonomi dan biaya produksi yang besar dari bisnis ini, maka pemodal besarlah yang bisa survive. Iya ada pertumbuhan ekonomi, pendapatan, lapangan kerja. Tapi, tidakkah dipertimbangkan analisa dampak lingkungannya?
anak-anak menyusuri kali kecil yang menjadi irigasi sawah


Sejak 10 tahun ke belakang, kami tak lagi bisa menikmati mandi dan mencuci dengan air pegunungan yang bersih. Otomatis sejak saat itu untuk kebutuhan mandi dan konsumsi air minum warga sudah menggunakan aliran PDAM. Iya, warga harus membayar untuk konsumsi air. Usaha peternakan ikan di kolam-kolam atau biasa disebut balong, sudah tidak menjanjikan lagi. Kualitas air sudah tak mendukung produktifitas peternakan ikan. Di sektor pertanian, produktifitas tanaman padipun menurun. Kualitas tanah persawahan dengan aliran air yang telah tercemar limbah pabrik juga menurun. Memang secara pribadi saya belum menemukan penelitian ilmiah di sana, saya sangat merekomendasikan sekali jika ada penelitian, entah mahasiswa, dosen, lembaga-lembaga riset atau mungkin peneliti yang concern di bidang lingkungan untuk mengadakan penelitian ini.  Namun secara kasat mata, warna air yang keruh dan putih serta kandungan limbah batu alam saya yakin memberikan suatu dampak bagi lingkungan dan produktifitas pertanian dan peternakan di sana. 

Saya sering ngobrol dengan ibu saya, dengan bahasa yang sederhana saya tanyakan bagaimana hasil panen padi di sawah kami, kemudian ikan-ikan di balong kami sejak air tercemar oleh limbah pabrik batu alam ini. Iya kualitas dan kuantitasnya menurun, dengan hitung-hitungan sederhana. Bahkan Ibu saya menilai tanah persawahan lebih sulit diolah karena tak segembur dulu. Air limbah yang mungkin membawa partikel-partikel batu yang menyebabkan hal tersebut. Any researchers ??? Adakah yang tertarik untuk meneliti lebih dalam??? Dari berbagai sudut pandang.. :)
Sumber gambar dari sini

Yup... Membaca tulisan tentang Capung tadi kemudian seolah menjawab pertanyaan saya. Kenapa saya kesulitan menemukan Capung... Bahkan saat saya bermain-main dengan anak-anak ke sawah tak terlihat serangga cantik ini berterbangan di antara tangkai-tangkai padi seperti dulu sering saya lihat. Saya selalu suka menangkap Capung, karena lebih mudah menangkapnya dibanding kupu-kupu misalnya. Capungpun ramah dan tak berbahaya. Biasanya sebagai anak perempuan saya hanya memainkannya sebagai pesawat atau helikopter dan saya sangat lekat dengan mitos bahwa dengan mengigitkan capung ke pusar, maka anak-anak akan berhenti mengompol. Mitos itu pulalah (yang sebetulnya hanya sekedar bahan cerita pada anak-anak) yang mendorong saya mengajak anak-anak bermain ke sawah mencari Capung. Saya juga berniat mencari belalang hijau, binatang serangga lain yang akrab di masa kecil saya dan meninggalkan kenangan mendalam. Mencari belalang di sawah, dikumpulkan lalu dibakar atau digoreng hahahaha. Kembali ke Capung, biasanya anak lelaki adu ketinggian  Capung terbang dengan mengikat ekor capung pada seutas tali, yang paling tinggi dia yang menang. Masa kecil yang indah, yang ternyata tak bisa saya wariskan pada anak-anak saya. So sad..:(

Capung tak mau lagi menjadikan kampung saya habitat mereka, entah kemana mereka sekarang bermigrasi. Karena Capung membutuhkan air bersih dan lingkungan sehat untuk kelangsungan hidupnya. Sebelum menjadi Capung dewasa, Capung hidup sebagai serangga air selama beberapa bulan bahkan tahun. Sebagian besar dari bakal capung (nimfa) itu tak mampu hidup tanpa air bersih, sebagian kecil saja yang mampu toleran air yang tidak bersih. Jika mata air tempat tinggal capung tercemar, capung meninggalkannya.

Iya, selain pestisida yang digunakan di sawah, saya yakin limbah pabrik batu alam lah yang membuat Capung tak lagi bisa bertahan di kampung saya. Bahkan ternyata irigasi sawah yang terbuat dari beton menggantikan tanah membuat capung tak lagi bisa meletakkan telur-telurnya. Begitu pula bilah-bilah bambu yang biasanya menjadi penyangga tanaman tumpang sari mulai langka. Pola tanam tumpang sari yang dulu dipraktikkan termasuk di kampung saya memang sudah jarang. Tak ada lagi tanaman kacang panjang dan sejenisnya di "galengan" - tegalan sawah. Kembali pikiran saya bernostalgia ke masa lalu 20 tahunan lalu saat saya begitu menikmati melangkahkan kaki di antara tegalan sawah, memetik kacang panjang yang ranum dan daunnya yang muda. Kadang menjerit dan berlarian saat menemukan ulat daun kacang panjang yang tak kalah hijau dari kacang panjangnya.

Saya terdorong untuk keluar rumah dan memperhatikan di sekitar rumah saya. Hmmm saya masih melihat banyak sang naga terbang berterbangan rendah di atas rumput ilalang yang meninggi dan menghijau di musim hujan ini. Iya saya memang tinggal di Komplek Perumahan kecil (semacam cluster), namun banyaknya kavling yang masih kosong terutama di depan, samping dan belakang rumah. kavling-kavling kosong tersebut ditumbuhi rumput ilalang yang tinggi, dan di sekitarnya terdapat beberapa pohon peneduh. Hal ini justru membuat saya bersyukur masih bisa menikmati suasana "kampung" lingkungan rumah saya. 

rumput ilalang di sekitar rumah

Meskipun rumah dan komplek saya tak lebih dari 50 meter saja posisinya dari jalan raya yang cukup besar, akses utama jalur Ciputat - Pondok Cabe - Parung. Lalu dimana sumber mata air sebagai habitat para naga terbang di sekitar rumah saya?? iya belakang komplek rumah saya, memang  berbatasan langsung dengan sebuah situ atau danau. Entah nama lengkapnya apa, tapi situ ini di sisi yang lainnya berada di jalur jalan Ciputat Pamulang. Yang saat musim hujan sering meluber ke jalanan, meskipun saat ini sudah dibangun tanggul. Saya yakin situ inilah tempat di mana ekosistem capung berkembang. Saya sangat berharap, Situ ini tetap terjaga kelestratiannya dan tetap  menjadi sumber air dan sumber kehidupan sang naga terbang. Karena Capung juga merupakan predator serangga lainnya termasuk nyamuk, hmmm semakin banyak capung semakin baik untuk mengurangi perkembangbiakan nyamuk di lingkungan kita.

Saya dengar akan dibangun jalan tol tak jauh dari lokasi Situ... ah semoga tidak merusak Situ dan komunitas di sekitarnya. Semoga saya dan anak-anak saya, hmmmm cucu-cucu saya sekalipun bisa berteman dengan si naga terbang ini. Saya jujur sering menangkap capung untuk menggigitkannya pada anak-anak saya, hmmm supaya gak ngompol lagiii...bukan karena percaya mitosnya, lebih karena keseruan yang tercipta saat peristiwa itu. Anak-anak saya bakal menjerit-jerit kegirangan...dan minta lagi hahahaha.

Referensi: 
Kolom IPTEK, Harian Kompas, Jumat 3 Januari 2014

4 comments

  1. br tau skrg klo capung bioindikator air, berarti knp dl didaerah asal bpk sy yg byk rawanya byk sekali capung...kami menangkapnya sbg umpan memancing mak...trims infonya mak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama mak, makasih sdh mampir dan tinggalin jejak ya mak

      Delete
  2. di sini masih banyak mak, masih banyak sawah...

    tapi untuk minum hampir semua pakai pdam, udah mulai jarang yang pake sumur... apalagi sumber mata air lumayan jauh....

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin kedalaman airnya yang susah dicapai ya mak...alhamdulillah klo masih ada hijau2

      Delete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.