Beberapa minggu ini saya hampir rutin dinas keluar kota. Salah satu yang sangat terasa dan mengambil perhatian saya adalah bagaimana cuaca di kota-kota yang saya kunjungi terasa lebih terik. Hampir semua kota terasa panas, bahkan ketika di ujung hari tiba-tiba hujan turun seperti tak terduga. Hujanpun kemudian turun dengan derasnya. Namun udara tak juga terasa lebih adem dan dingin, tetap terasa panas dan gerah.
Hmm saya jadi teringat saat mendampingi mahasiswa dalam program mentoring di kantor, mereka pernah mendiskusikan isu climate change dan mempresentasikan fakta bahwa:
Suhu udara permukaan yang diamati secara keseluruhan di Asia telah meningkat sekitar 1-3°C selama satu abad terakhir. Indonesia sendiri telah menjadi lebih hangat sejak tahun 1900 dan suhu rata-rata tahunannya telah meningkat sekitar 0,3°C.
Hal sederhana yang paling terasa dari efek perubahan iklim memang peningkatan suhu udara sih. Fakta bahwa beberapa tahun belakangan kita kesulitan air di musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan juga merupakan pertanda nyata dari terjadinya perubahan iklim di sekitar kita.
Dampak lain dari perubahan iklim yang nyata selain kenaikan suhu bumi dan ketersediaan air adalah kenaikan permukaan laut, rusaknya keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, banyaknya bencana alam, ancaman terhadap kesehatan manusia, dan bahkan akhirnya berdampak terhadap perekonomian.
Untuk memahami bahwa perubahan iklim merupakan isu global yang serius, Sahabat Mom of Trio bisa cermati infografis dari conservation.org berikut ini:
Kampungku Dulu dan Kini
Kampung saya di wilayah barat Kabupaten Cirebon di tahun 1970 an - 1980 an, masih sangat nyaman sebagai tempat tinggal. Posisi kampung perbatasan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. Pemandangan gagahnya Gunung Ciremai yang melatari kampung menjadi keindahan tersendiri.
Saya ingat betul dulu kami menggunakan air minum dari sumur yang tak pernah kering meski musim kemarau. Namun untuk mandi, mencuci baju dan peralatan rumah tangga cukup dari sungai. Sungai dengan air yang jernih mengalir dari pesawahan hingga ke kali/sungai kecil di depan rumah-rumah penduduk yang kemudian dialirkan ke kolam-kolam cuci milik perorangan ke rumah masing-masing.
Kali/sungai irigasi demikian dulu kami menyebutnya. Rasanya tak pernah kering juga saat kemarau, hanya surut beberapa centi saja dari permukaan biasanya. Air kali yang jangankan manusia, ikan sungai, udang-udang kecil, dan hewan air berhabitat di sana dengan amannya.
Dulu Meski ketika musim kemarau cuaca terasa panas dengan terang matahari namun angin berhembus membelai diri. Pepohonan di sekitar rumah yang rimbun tetap memberikan suasana adem dan nyaman. Menjelang sore dan malam hari, suhu udara menjadi jauh lebih nyaman. Jangankan AC/air conditioner, kipas angin sajapun tidak banyak yang punya. Memang tidak perlu, kami hanya sesekali menggunakan kipas tangan dari bambu yang juga biasa digunakan untuk mengipasi nasi yang baru diangkat dari kukusan. "diakeul" atau dikipasi hingga nasi tidak panas dan enak untuk disantap.
Apa yang terjadi saat ini? Meski kami masih punya sumur untuk kebutuhan air namun sejak tahun 2000an kami harus menggunakan air dari PDAM. Well yang tidak selalu lancar dan jangan bayangkan daerah hulu Kuningan Cirebon yang berada di kaki Gunung Ciremai mendapat supply air yang cukup.
Duapuluh - sepuluh tahun terakhir ini, air PDAM pun sangat terbatas. Air bening layak konsumsi yang dulu mengalir hingga ke rumah dengan gratis kini tak ada lagi. Air layak minum yang kini harus berbayarpun bahkan sering tidak lancar mengalir hingga ke rumah. Ironis sekali, bahkan daerah hulu mengalami kesulitan air.
Air sungai saat ini sudah dangkal, jangankan udang rebon. Tak terlihat lagi hewan sungai di sana karena air sangat keruh dan dangkal. Jangankan untuk mencuci atau mandi. Untuk mengairi sawah kami juga seperti sudah tidak layak. Beberapa tahun terakhir padi dan hasil pertanian terus merosot tajam karena kualitas air yang semakin menurun Selain volumenya yang semakin menurun diperburuk dengan kualitasnya yang semakin rusak akibat limbah perusahaan batu alam di daerah hulu.
Kota Penyangga Ibu Kota dan Perubahan Iklim
Saya menjejak Jakarta coret di awal tahun 2000 an. Tidak menyangka akan menjadi warga di kota panyangga Jakarta, Tangerang Selatan tepatnya Ciputat. Dulu sudah layaknya kota penyangga Ibu Kota yang ramai dan terkenal dengan kemacetannya. Namun Tangerang Selatan masih jadi penyangga udara bersih dan penyedia air karena masih banyaknya pepohonan dan daerah resapan air yang terjaga. Dulu sih mungkin serupa tempat jin buang anak deh. Karena lahan kosong dengan pepohonan lebih banyak ketimbang jumlah orang di sana.
Selain itu Tangerang Selatan memang menyimpan banyak daerah resapan air baik dalam skala kecil maupun cukup besar. Sekarang? Hmm saya tidak yakin karena jumlah lahan terbuka semakin minim dan perumahan berkembang luar biasa pesat di daerah ini bahkan daerah resapan air termasuk Situ yang jumlahnya cukup banyak rasanya sudah banyak yang makin menyempit dengan dalih revitalisasi. Entahlah.
Komplek di mana saya tinggal merupakan salah satu komplek yang unik karena terletak bersebelahan dengan Situ atau sumber air di Ciputat. Kanan kiri jalan masih banyak pepohonan rimbun. Alhamdulillah sampai hari ini kami masih menggunakan air tanah untuk kebutuhan rumah mulai dari mandi, mencuci, menyiram tanaman, hingga untuk konsumsi. Alhamdulillah di musim kemarau, kami tidak sampai kehabisan air atau kekeringan. Belakangan memang kadang agak berkurang volumenya tapi so far masih cukup. Alhamdulillah juga kami tidak pernah mengalami banjir.
Namun sepuluh tahun lebih tinggal di komplek ini, saya juga mengalami masa yang signifikan dari efek atau dampak perubahan iklim. Terganggunya persediaan air dan ekosistem penyimpan air dan habitat di dalamnya serta semakin meningkatnya suhu udara di sekitar rumah.
Dulu pada beberapa tahun pertama kami tinggal di sini. Anak-anak dengan mudah bisa menemukan banyak capung di sekitar rumah. Saat ini rasanya sulit menemukan hewan lucu satu ini. Apa hubungannya capung dengan perubahan iklim dan sumber air? Sahabat Mom of Trio sudah tahu belum bahwa capung merupakan salah satu serangga yang memiliki fungsi sebagai bioindakator, indikator/penanda air kehidupan. Capung menjadi indikator adanya air bersih dan lingkungan sehat karena kehidupan capung tidak dapat dipisahkan dengan air.
Capung dengan ratusan jenis spesiesnya merupakan penanda adanya sumber air bagi kehidupan di suatu tempat. Langkanya atau sulit ditemukannya capung-capung di suatu tempat yang semula menjadi habitat binatang ini menjadi salah satu penanda bahwa tempat tersebut telah mengalami perubahan lingkungan di mana kondisi air sudah tercemar dan menyebabkan terganggunya ekosistem Capung.
Capung merupakan serangga terbang pertama di dunia, muncul sejak zaman Karbon (360-290 juta tahun lalu) dan bertahan hingga sekarang. Capung tersebar di wilayah berair seperti pegunungan, sungai, rawa, danau, sawah dan pantai.
Situ dan rawa-rawa di sekitar komplek perumahan rupanya sudah tidak sebersih dulu dan areanya semakin menyempit dan terjadi pendangkalan. Komplek saat ini bersebelahan persis dengan pintu tol baru Pamulang yang merupakan bagian ruas dari rangkaian jalan tol Serpong-Cinere. Sebelum jalan tol ini dibuka dan beroperasi, delevoper sudah jauh hari menghabiskan banyak lahan di daerah Tangerang Selatan terutama Ciputat - Pamulang dan sekitarnya mengganti dengan bangunan rumah baik landed house maupun apartemen. Selain mengambi lahan yang tadinya terbuka menjadi tertutup bangunan, juga mengambil banyak air tanah tentunya.
Yang paling terasa suhu udara makin panas dari yang dahulu terbilang adem. Pagi hari biasanya kami sebut sebagai "Ciputat rasa puncak" karena udara cukup dingin, banyak suara binatang pagi hari, pepohonan juga rimbun di sekitar rumah dan basah berembun. Well, bahkan di komplek kami masih suka berkeliaran biawak (mungkin mereka memang berasal dari Situ yang makin menyempit dan tak nyaman lagi digusur konstruksi jalan tol), musang, tupai, dan banyak binatang liar yang hakikatnya tidak mengganggu selama kita tidak mengganggu mereka. Belakangan saya makin jarang melihat mereka berkeliaran dan bermain di sekitar rumah.
Mulai dari Rumah, Mulai dari Ibu
Perubahan iklim akibat pemanasan global dan segala dampaknya tampak nyata dan seperti sulit dihindari. Namun saya pribadi percaya bahwa sepanjang setiap individu punya pemahaman yang cukup dan mau turut beraksi dengan melakukan tindakan nyata guna memperlambat proses perubahan iklim dan pemanasan global, hal ini dapat mencegah makin buruknya kondisi tersebut.
Saya percaya dari satu orang Ibu yang menduplikasikan kepada seluruh anggota keluarga, bisa menjadi bermakna ketika ada puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan Ibu dan seluruh anggota keluarganya melakukan hal yang sama.
Saya percaya bahwa sekecil apa pun langkah yang kita ambil, jika dilakukan secara bersama-sama dan terus menerus akan besar dampaknya. Let's #TeamUpForImpact !
Peran Ibu menjadi sangat signifikan karena Ibulah yang menanamkan nilai dan pemahaman dalam keluarga. Ibu yang peduli akan isu lingkungan, perubahan iklim, pemanasan global dan sejenisnya pasti akan mengimplementasikan tindakan-tindakan nyata dalam keseharian sekaligus menduplikasikan kepada anak-anaknya.
Mungkin tampak seperti langkah kecil yang sudah terdengar biasa dan banyak diketahui orang ya. Upaya kecil yang implementatif namun efektif rasanya jauh lebih bermakna dan berdampak jangka panjang jika berhasil dilakukan konsisten dan kemudian menjadi nilai yang dianut dan dijalankan seluruh anggota keluarga.
Jangka panjangnya pemahaman akan praktik kecil peduli lingkungan dan cinta bumi ini kemudian menjadi bagian dari gaya hidup anak-anak yang kelak akan menjadi manusia dewasa dan memiliki generasi penerus berikutnya. #UntukmuBumiku Untukmu anak cucuku.
Kuncinya adalah konsistensi dan duplikasi. Ibu sendiri harus siap dan punya daya juang untuk konsisten menerapkan langkah-langkah penyelamatan bumi dari rumah :D plus secara sabar dan telaten mengajak anak-anak untuk membiasakan diri juga melakukan hal yang sama.
Bagaimana kalau kita kunci dua kata tersebut. Konsistensi dan Duplikasi!
We are the first generation to feel the effect of climate change and the last generation who can do something about it.
Former US President Barrack Obama
Apa saja yang bisa ibu lakukan dimulai dari rumah? Mungkin yang saya lakukan memang bukan hal besar dan masih terus dalam proses konsistensi dan duplikasi tadi ya. Beberapa hal mungkin juga sudah biasa Sahabat Mom of Trio lakukan, tapi tidak ada salahnya kita berbagi ya. Saling menyemangati diri kan ya!
Hemat Energi Yuk
"Nak matikan lampunya." kata-kata yang tak bosan saya sampaikan saat anak-anak keluar dari kamar mandi. Saya juga membiasakan mematikan semua lampu di semua ruangan saat tidak digunakan. Alhamdulillah rumah kami banyak jendela dan ada ruang terbuka juga dari bagian belakang rumah. Matahari bisa masuk dengan leluasa dan menjadi sumber cahaya tersendiri di siang hari.
Mematikan AC kamar menjelang pagi sebelum shubuh sekitar pukul 04.00 saat bangun dari tidur. Saya hanya punya 3 perangkat AC. Namun yang aktif digunakan hanya 2 yakni di kamar tidur utama dan kamar tidur dua anak gadis. AC di kamar tidur si bontot jarang sekali dinyalakan karena dia masih tidur dengan saya di kamar utama.
AC hanya mulai kami nyalakan di malam hari menjelang tidur. Siang hari buka saja pintu dan jendela kamar. Saat cuaca sangat terik dan harus berada di kamar barulah AC bisa dinyalakan sekali-kali. Intinya AC di rumah kami jarang bekerja.
Saya minta Pak Suami menggunakan bola lampu yang juga hemat dan ramah lingkungan, memang harganya lebih mahal tapi toh lebih awet dan juga cukup terang. Meski belum semua, namun peralatan elektronik kami usahakan yang eco friendly. Membantu bumi tanpa terasa sih. Hanya terasa di awal mungkin saat beli harganya selisih dari yang biasa. Rasanya zaman sekarang sih semua alat elektronik sudah eco-friendly ya. Jadi insyaAllah bisa banget implementasi langkah ini.
Dulu saya menerapkan No Gadget until Junior High School pada anak-anak. Selain mengurangi efek negatif gadget juga hemat penggunaan energi lho. Sayangnya sejak pandemi dua tahun lalu mau tak mau semua diberi gadget dan laptop/PC. Penggunaan energi listriknya tentu jadi meningkat. Sebisa mungkin mereka diberi kegiatan lain agar tidak sepanjang hari di depan laptop/gadget dan otomatis mengonsumsi energi listrik.
TV di rumah saya juga jarang dinyalakan, hanya saat kegiatan berkumpul di ruang keluarga untuk menonton bersama. Alhamdulillah anak-anak juga bukan penyuka tontonan di TV. Jadi mengingatkan anak-anak untuk mematikan TV saat tidak digunakan sudah bukan masalah besar. Mereka dengan sadar melakukannya saat tidak ada yang perlu ditonton dari TV, ya sudah matikan! Tidak ada cerita TV yang menonton kita tidur atau bercengkrama.
Hemat air juga merupakan kegiatan kecil namun berdampak besar lainnya. Matikan dan tutup kran dengan baik setelah digunakan. Pastikan benar! Hal yang tampak sepele seperti meninggalkan kamar mandi dengan kran menyala lalu air tumpah-tumpah tanpa kita sadari, merupakan kebiasaan buruk yang harus ditinggalkan.
Mengajarkan pada anak-anak untuk peduli hal yang tampak kecil ini juga perlu kesabaran. Harus terus diingatkan tanpa bosan. Mungkin tampak sepele tapi tidak sama sekali untuk menghemat energi kita secara keseluruhan. Plus menghemat pengeluaran ayahnya membayar tagihan bulanan listrik.
Pakai sampai Habis!
Dalam konteks menghemat, penggunaan toiletries serta perlengkapan mandi dan perawatan kulit wajib dilakukan dengan cermat dan hemat juga. Saya usahakan selalu menghabiskan yang sudah dibeli dan memastikan benar-benar habis. Ini sih baru saya aja yang telaten nih. Anak-anak kadang heran, "bu itu kan udah habis." "Hmm enggak lho, ini masih ada bisa dua sampai tiga kali pakai lagi." Kalau perlu gunting kemasannya deh, isinya pasti masih banyak. Terkadang sabun cair atau shampo menjelang tetes terakhir saya isi dengan air deh untuk memastikan benar-benar sudah habis. Irit yak? Kenapa tidak!
Demikian juga untuk bumbu dapur seperti kecap, saus, dan yang lainnya. Pakai sampai habis! Prinsip pakai sampai habis juga saya berlakukan untuk buku tulis, alat tulis, dan kertas di rumah. Saya tidak ikut kebiasaan "kelas baru - buku tulis baru". Jika buku anak-anak masih banyak yang kosong di tahun sebelumnya, saya tetap wajibkan mereka pakai dengan melanjutkan ke halaman yang belum terpakai. Tidak harus baru. Paling tidak saya ganti saja sampul atau covernya jadi baru.
Kadang-kadang masih berguna juga lho catatan dari kelas sebelumnya. Ini sudah saya lakukan sejak anak-anak masih kecil. Jadi tidak berlaku awal masuk sekolah semua harus baru. Bukan tidak pernah anak-anak protes karena kebiasaan teman-temanya bahkan kadang gurunya pun mengharuskan tahun ajaran baru buku tulis/catatan baru. Saya agak kekeuh untuk tetap menghabiskan dulu buku yang lama.
Kata-kata sakti ini sering saya dengungkan pada anak-anak "Ingat nak, untuk selembar kertas ini berapa pohon yang harus ditebang." Lama kelamaan mereka bisa paham dan mau menggunakan buku lama pada lembaran yang masih kosong. Terlebih di masa PJJ saat tugas-tugas lebih banyak dilakukan secara online via aplikasi dan disubmit secara elektronik juga.
Kata-kata sakti itu juga berlaku untuk mengingatkan agar tidak berlebihan menggunakan tisu atau toilet papaer. Berapa banyak hutan yang harus gundul untuk selembar tisu dan toilet paperpmu!
Untuk kertas bekas pekerjaan kantor yang digunakan hanya pada satu halaman selalu saya manfaatkan di sisi sebaliknya. Saat anak-anak membutuhkan kertas untuk corat coret, menghitung, bahkan saat saya dan suami perlu mencetak hasil kerja yang memang digunakan sendiri kami manfaat kertas bekas yang masih belum terpakai halaman sebelahnya.
Hmm sejujurnya saat pengumpulan bukti fisik untuk kenaikan jabatan/pangkat yang membutuhkan kertas berlembar-lembar (gak efisien banget ya), kami berdua termasuk yang nyleneh karena menggunakan kertas bekas pada salah satu sisi. Toh hanya untuk dicek dan dinilai setelah itu harus dibuang kan? Kok irit banget dan ribet banget! ada saja yang berkomentar seperti itu. Irit iya, ribet? tergantung sih. Aku merasa gak ribet kok!
Bijak Kelola Sampah
Sampah adalah persoalan yang cukup pelik dan menjadi PR tersendiri bagi lingkungan. Gaya hidup minim sampah dan kelola sampah dengan bijak merupakan upaya yang bisa kita lakukan untuk membantu memulihkan bumi. Hal-hal yang sederhana yang bisa saya upayakan dari rumah terkait sampah memang saya akui belum seintensif itu. Pengelolaan sampah di rumah saya masih belum total zero waste. Sejauh ini yang bisa saya lakukan adalah memisahkan sampah basah/organik dengan sampah non organik.
Sampah organik dibuang di dalam lubang tanah, yang belum bisa saya komposkan sendiri karena keterbatasan waktu. Untuk sampah non organik terutama untuk plastik/karton/botol kaca dan sejenisnya yang bisa didaur ulang sudah dipisahkan sejak awal. Memudahkan petugas yang mengambil sampah. Mereka juga memisahkan kembali sampah yang bisa digunakan ulang ataupun didaur ulang.
Meskipun sudah menggunakan tas belanja yang ramah lingkungan, agak sulit meminimalisir plastik untuk konteks belanja di pasar tradisional. Klo belanja di super market, kalaupun belanjaan banyak dan melebihi tas belanja, biasanya pakai kardus bekas yang kemudian bisa di-recycle juga kan?
Beda cerita kalau belanja di pasar tradisional, pedagang biasanya sudah membungkus item belanjaan ke dalam plastik berdasarkan beratnya. Bahkan pedangan masih menyediakan plastik untuk setiap item yang tidak dibungkus plastik. Harus selalu dan tidak bosan mengingatkan, "Bu ga usah pakai plastik, masukkan saja sekalian ke sini." Suka agak pusing sejujurnya kalau semua item belanjaan pakai kantong plastik sendiri-sendiri. Sampah plastik makin banyak. Duh!
Untuk meminimalisir sampah plastik di rumah saya juga biasa membeli keperluan rumah tangga seperti sabun dan sejenisnya dalam bentuk isi ulang. Bahkan meskipun kemasan aslinya sudah tidak ada, saya tidak segan menggunakan kemasan bekas atau wadah bekas lainnya. Isi ulang cairan pembersih lantai dan cuci piring misalnya.
Coba kalau dekat rumah ada counter yang menjual isi ulang langsung ya, bahkan kita tak perlu memproduksi sampah plastik karena cairan langsung masuk ke wadah milik kita. Re-use kemasan bekas juga saya lakukan untuk vas bunga atau vas tanaman.
Saya jarang membeli minuman kemasan sekali pakai dan hampir selalu membawa botol minum isi ulang. Saat perjalanan dinas keluar kota atau saat bepergian sekeluarga, dari rumah selalu mengisi penuh botol-botol air minum. Selain lebih hemat, sehat, pastinya mengurangi sampah kan. Membawa bekal dengan tempat makan sendiri juga salah satu cara mengurangi sampah karena jajan dan menghasilkan sampah baru.
Belajar Hidup Minimalis
Awalnya saya membaca buku Bokutachini, Mou Mono wa Hitsuyou Nai. Goodbye things, Hidup Minimalis ala Orang Jepang. Tak lama semenjak buku ini terbit di 2018 saya membacanya dan langsung mengadaptasi beberapa hal yang dilakukan oleh Fumio Sasaki. Iya, baru beberapa karena memang belum bisa setotal itu, seminimalis itu. Tapi memang sejak beberapa tahun lalu saya mulai merasa terganggu dengan kebiasaan hoarding kami di rumah dan membuat rumah kami yang tidak luas menjadi makin penuh.
Furniture ukuran besar dengan model yang memakan ruang. Banyak barang yang tidak digunakan namun masih disimpan dengan berbagai alasan. Rasanya sejak 2018 itulah kemudian perubahan terjadi perlahan.
Saya dan suami sepakat bahwa the less the better for us. Kami mulai mengeluarkan barang-barang yang bahkan kami merasa masih sayang.
Mengganti furniture yang terasa berat. Berkomitmen untuk tidak menambah furnitur selain yang basic kami butuhkan. Mengecat dinding dan lainnya dengan warna putih. Sesuatu yang dulu kami hindari saat anak-anak masih kecil. Mendonasikan buku, mainan, dan perlengkapan anak-anak yang dulu masih kami tahan karena berpikir one day akan kepake lagi. Well, ini pikiran yang menipu banget sih dan membuat kita jadi hoarder.
Alhamdulillah sedikit "lega". Saya juga mencoba lebih konsisten melakukan decluttering tidak hanya untuk barang pribadi namun juga barang anak-anak. Ini sih yang negonya agak berat. Berkeranjang mainan yang sebetulnya banyak yang sudah tidak dimainkan namun masih dicari jika dilihat tak ada. Pakaian yang sudah bisa dilungsurkan karena masih layak pakai. Rasanya decluttering tidak hanya berpengaruh secara fisik di mana kita merasa lega dan nyaman. Namun juga memiliki pengaruh yang besar terhadap kesehatan mental dan fikiran kita.
Membeli barang hanya yang benar-benar kita butuhkan dan memastikan merasa cukup dengan yang ada. Mengajarkan juga pada anak-anak untuk tidak harus dijajah oleh trend tertentu sehingga harus selalu mengganti barang baru hanya karena trend. Kalau tidak butuh buat apa, kalau masih ada yang lama dan masih bagus kenapa tidak? Mungkin saya sudah mulai bisa menerima konsep ini namun menularkannya pada anak-anak terutama para pre-teen saya tentu butuh waktu dan kesabaran. Tidak apa-apa, kita bisa bersabar mengedukasi mereka tentunya.
Make Our Little Jungle at Home
Tanam pohon atau tanaman apapun untuk menghasilkan oksigen dan mengurangi karbondioksida. Langkah yang juga bisa kita sumbangkan bagi penyelamatan bumi. Tanaman memiliki fungsi yang sangat penting dalam upaya meredam kenaikan gas rumah kaca penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Layaknya spons atau busa, tanaman menyerap karbondioksida yang dihasilkan oleh kegiatan yang kita lakukan.
Lahan rumahku tidak luas, ada sepetak halaman depan. Sejak pertama pindah sudah ku tanam pohon mangga dan beberapa pohon lainnya. Yang bertahan setelah hampir 13 tahun adalah pohon mangga yang menjadi peneduh rumah sekaligus penyuplai udara bersih. Melengkapi pohon mangga, saya menanam beberapa tanaman hias kayu seperti pucuk merah untuk menjadi pagar hijau di depan rumah yang terbuka.
Selain itu berbagai tanaman hias yang juga melengkapi rimbunnya teras dan halaman depan kami yang tidak luas. Tak mengapa tak luas asalkan ada "anak-anak ijo" yang bisa mensupplai udara bersih dan segar bagi penghuni rumah. Bayangkan jika semua rumah dengan memiliki tanaman di halaman mereka, tentu menyelamatkan bumi dari rumah bisa benar-benar bermakna. Tidak ada lahan, lakukan di dalam pot, anak hijau tetap bisa tumbuh dan menghijaukan rumah. Oh iya, tampak depan, rumah kami memang terlihat seperti hutan kecil. Hijau dan rimbun.
Anak-anak saya upayakan untuk terlibat saat melakukan hobby Gardening. Saya kenalkan juga nama-nama latin dari beragam jenis tanaman hias. Sesekali bahkan membantu menyiram dan saya titipi menyiram dan menjaga saat lama dinas keluar kota. Meski kadang suka jealous pada "anak ijo" ini karena mereka beranggapan Ibu kadang malah sibuk urus "anak ijo" ketimbang mereka, namun so far mereka sudah terpapar pemahaman bahwa banyak manfaat menanam bahkan di lahan yang terbatas seperti di rumah kami.
Kegiatan menanam pohon juga kami lakukan di lahan kavling di komplek yang masih kosong atas seizin pemilik. Bukan hanya tanaman seperti pisang, singkong, atau pepaya namun kami juga menanam pohon kayu keras seperti jati dan sengon. Ini menjadi kesepakatan warga perumahan kami yang kecil. Setelah beberapa tahun bahkan pohon tersebut punya nilai ekonomis dan bisa dijual kayunya.
Beberapa waktu lalu saat ada angin kencang, beberapa pohon patah dan merusak tanaman di sekitarnya. Mengingat sudah usia panen maka pohon-pohon jati dan sengon tersebut kemudian disepakati ditebang dan dijual. Hasilnya untuk kas komplek.
|
Pohon Jati Tumbang |
Bertahun-tahun serasa tinggaldi tengah hutan. Bahkan saat masuk komplek sudah seperti hutan karena kebetulan pohon-pohon jati tersebut ditanam di kavling depan pas gerbang masuk. Posisinya di depan rumah saya. Alhamdulillah selama itu pula serasa di tengah hutan dan selalu nyaman karena keluar komplek sudah bising oleh lalu lintas yang padat. Kami tetap berniat menanam kembali pepohonan sejenis setelah penebangan kemarin. Selain untuk menjaga lingkungan, mensuplai udara bersih, juga pada waktunya bisa bernilai ekonomis.
Rimbunnya pepohonan terasa menjadi sangat mahal saat di luar rumah kondisi sudah sedemikian panas, berdebu, dan polutif. Menjaga lingkungan rumah agar bisa tetap rimbun dan hijau dengan menciptakan hutan kecil sendiri di rumah rasanya menjadi usaha yang membuat semangat.
Well, bahkan kalau mau dijadikan kegiatan bernilai ekonomis juga bisa lho karena tanaman hias kan sekarang sedang hits juga. Kalau dari hobby dan kecintaan bisa menghasilkan cuan dengan membudidayakannya kenapa tidak?
Well, ini cerita dan sharing aku tentang kegiatan sederhana yang sedang kuupayakan untuk terus kujalankan dengan konsisten. Semoga makin bertambah baik ke depannya dan bisa terduplikasi dengan baik pada anak-anak.
Sahabat Mom of Trio juga bisa banget lho melakukan langkah-langkah kecil seperti yang saya lakukan untuk selamatkan bumi dari rumah masing-masing. Hmm atau justru sudah menjalankannya atau punya pengalaman lain? Yuk saring bagaimana kamu menunjukkan cintamu pada bumi. Karena tidak ada Planet B untuk kita huni, jadi cintai, peduli, dan selamatkan Bumi kita.
Bener banget kerasa lho sekarang perubahan iklim ini yang ngefek juga ke kesehatan apalagi di masa pandemi ini kalau ga jaga sistem imunitas bisa bahaya. Penting untuk jaga kebersihaan juga agar bisa jaga kesehatan, eh salfok sama buku Hidup Minimalis ala orang Jepang.
ReplyDeleteperubahan iklim memang sangat terasa ya mba beberapa tahun belakangan ini, trus sepanjang long wiken kemarin ada video tentang ilmuwan yang berusaha keras infoin kalo bumi sedang tidak baik-baik aja
ReplyDeleteJadi ingat masa kecil saya dulu tiap hari main dan mandi di sungai yang air selalu jernih. Kini setiap pulang kampung, musim hujan air sungai sangat kotor, klo musim kemarau sungainya kering.
ReplyDeletePerubahan iklim ini emang nggak cuma mempengaruhi kondisi alam, tapi juga kondisi kesehatan ya.
benar, bila setiap rumah tangga memiliki kepedulian untuk menyelamatkan bumi, maka kita pasti bisa melakukannya dalam tatanan organisasi masyarakat yang lebih besar
Asliii ngerii banget dgn dampak climate change ini ya mba
ReplyDeletebanyak musibah/bencana alam di berbagai lokasi di dunia.
semoga langkah sederhana yg kita lakukan bisa membawa dampak positif ya
Wah, sama mbak..aku juga gitu sabun cair, sampo wajib habis sampai tetesan terakhir dan diisi air biar tuntas habisnya hahaha. Urusan perubahan iklim ini jadi sesuatu yang penting dipahami ya mbak, karena dampaknya sudah sangat kerasa banget.
ReplyDeleteBener banget sih mbak, perubahan iklim terasa banget
ReplyDeleteAku yang dari kecil tinggal di Bandung pun merasakan Bandung sekarang udah gak sesejuk dulu lagi, sering kegerahan.
Wah, berarti aku harus bersyukur karena kadang2 masih suka ada capung yang nyelonong masuk rumah pertanda persediaan air bersih masih tersedia di daerah rumahku yah mbaak hehe
Terasa banget ya perubahan iklimnya, pagi sekarang udah keringatan padahal engga ngapa2in huhuhu. Harus sadar dari diri sendiri ya untuk menyelamatkan bumi.
ReplyDeleteMengurangi beban bumi memang bisa dilakukan siapa saja ya. Bahkan dengan langkah kecil dari rumah. Jika banyak yang melakukan, tentunya efeknya juga akan besar. Semoga kita semua bisa memulai melakukan tindakan sayang terhadap bumi ini. Demi bumi yang ramah dan lestari untuk anak cucu kita.
ReplyDeleteSaya tinggal di Depok sudah 40 tahun lebih.Dulu 20 tahun yang lalu masih sejuk, polusi tidak ada. Tetapi setelah rumah dempet-dempet halamanmu langka, terasa sekali perubahan iklimnya. Sekarang sayapun di rumah menghemat juga penggunaan energi listrik. Selamatkan bumi, kewajiban semua.
ReplyDeleteSalam: Dennise Sihombing
Terasa banget perbedaan iklim saat ini dibandingkan beberapa tahun lalu. Misalnya di Bandung, Dieng dan kota2 lain yang dulunya dingiiiin eh sekarang makin panas dan gerah deh. Kalau aku sekeluarga sejak lama sudah berusaha membawa wadah makan dan botol minuman untuk mengurangi sampah plastik untuk menyelamatkan bumi :D
ReplyDeletePeduli bumi dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Aku sudah cukup lama membiasakan membawa botol minuman dan wadah makanan dari rumah untuk mengurangi sampah plastik. Sekarang di Bandung misalnya, rasanya beda sudah ga dingin kayak dulu, malah cenderung gerah.
ReplyDeletetak kusangka sekarang secepat ini dampak perubahan iklim!
ReplyDeleteDuluuuu sekali aku hidup di Kalimantan, so aku terbiasa hidup di rumah berpintu jendela dengan bukaan besar tapi dengan kasa nyamuk - karena udaranya nyaman
Btw aku juga punya buku Hidup Minimalis ala orang Jepang tapi Zen Gardennya
terasa simple dan "bersih" banget
Sama,Mbak dulu di sekitar rumahku masih banyak burung berkeliaran nih..sekarang makin sepi hiks. Setuju jika Ibu punya peran signifikan karena menanamkan nilai dan pemahaman dalam keluarga.
ReplyDeleteJika Ibu peduli isu lingkungan, perubahan iklim, pemanasan global dan sejenisnya akan mengimplementasikan tindakan-tindakan nyata dalam keseharian juga diteladani anak-anaknya
Dampak perubahan iklim itu nyata adanya ya mbak
ReplyDeleteMakanya kita semua harus peduli dan segera mengambil peran
Melakukan aksi aksi penyelamatan bumi
Mbak Ophiii..ini beneran tulisan sangat panjaaaang yang gak bikin bosan bacanya. Aku baru tau kalau keberadaan capung sebagai penanda adanya air atau sumber air loh mbak dari tulisan Mbak Ophie.
ReplyDeleteBy the way sukaaaa banget ya kompleknya masih adeeeem. Banyak pohon gede gede. Trus rumah Mbak Ophie juga penuh tanaman. Jadi adem deh
Perubahan iklim tuh berasa banget sekarang loh, apalagi kalau kita tidak ambil bagian dalam penangendaliannya. Karena manusia ini turut andil dalam perubahan iklim, jadi memang bisa dimulai dari rumah dan keluarga sih menurutku.
ReplyDeleteIya ya mbak sekarang Tangsel apalagi Ciputat sih dah hampir gak ada lahan, semuanya habis buat rumah atau apartmen hehe
ReplyDeleteBaru tau kalau tanda sumber mata air tuh banyak capung di sekitarnya.
Iyes mencegah krisis iklim makin menjadi salah satunya dengan mulai dari rumah dengan mulai menghemat energi ya mbak.
Artikelnya lengkap banget deh dan bikin aku dapat pencerahan nih untuk mengikuti tipsnya seperti pakai sampai habis jangan mudah menimbun barang karena tergiur diskon ya...
ReplyDeletedi rumah emang tidak banyak yang dilakukan tapi peran kecil itu akan berdampak besar. Sayangi bumi sejak sekarang ya! Perubahan iklim mengintai soalnya.
ReplyDeleteHal sederhana bisa kita lakukan dari rumah untuk menyelamatkan bumi, misalnya dengan hemat energi, kelola sampah dan lainnya. Jujur, aku juga rindu masa dulu saat cari capung di sungai. Bahkan di sekitar rumah pun ada. Kini, dah gak kelihatan lagi
ReplyDeleteemang harus dari diri sendiri ya mbak ophi
ReplyDeletemau bagiamanpun kalau ga kita yang mulai ya ga bisa
aku juga berusaha kecil berbuatnya agar nanti bisa jadi bagus
Sebagai masyarkat biasa kita mencoba mneyelamatkan bumi semampu kita seperti hemat energi dan lain-lain. butuh kekompakan dan dilakukan secara massal. karena itu butuh edukasi kemasyarakat mulai tingkat rt ...dll. dan yang paling susah itu konsisten dan berkelanjutan...
ReplyDeleteYa Allah..
ReplyDeleteTernyata kenaikan suhu yang terlihat sedikit tapi dampaknya sangat terasa sekali bagi bumi yaa..
Langkah yang kita lakukan mungkin gak seberapa, tapi bila dilakukan secara bersama-sama maka akan membawa dampak positif bagi mitigasi perubahan lingkungan di bumi.
Kalau dipikir-pikir, kita ini kan negeri dengan kekayaan alam yang luar biasa. Harusnya punya cadangan air yang membeludak, nyatanya saat hujan pun banyak terjadi banjir. Tapi mengapa untuk persediaan air bersih masih banyak yang susah mendapatkannya?
ReplyDeleteClimate change is real, iyaa setuju banget mba. Tanpa disadari sebenarnya kebiasaan kita selama ini sangat mempengaruhi hal tersebut. Harus dilakukan perubahan secara berarti, mulai dari diri sendiri, agar lingkungan kita tetap sehat dan terjaga hingga anak cucu nanti.
Iya mbak, perubahan cuaca ini beneran terjadi ya. Saya juga ngerasa banget, bogor sekarang ga sesejuk dulu. Sekarang tuh panas banget meski airnya masih dingin ya. Jadinya bikin kulit kering dan mudah dehidrasi kalau ga cukup asupan air minum.
ReplyDeleteBenar mbak, kita biza lakukan meminimalisir dampak perubahan cuaca dari rumah ya.
Saya masih PR banget dengan sampah ini. Meskipun sudah memilah namun untuk pengolahannya masih butuh banyak belajar agar hasilnya lebih optimal. Satu lagi soal lahan. Karena area tanah yg terbatas, rasa-rasanya agak susah untuk melakukan penanaman, kecuali menggunakan pot plastik, itu juga PR lagi kalau tanaman agak besar. Tapi ya mau gak mau harus bergerak karena iklim tak seperti dulu lagi
ReplyDelete