Karena Memberi Tidak Pernah Merugi



Sahabat Mom of Trio tentu masih ingat beberapa waktu lalu, sempat viral share tentang suami dari mahasiswi Indonesia yang tengah menempuh study di US dan menderita tumor ganas dan membutuhkan biaya. Rahmah Fitriani, dosen UIN Sumatera Utara yang tengah menempuh studi doktoral di University of New Mexico, Amerika Serikat adapun suaminya yang didiagnosa memiliki tumor ganas di otak kiri bernama Ardian Yunizar. 


Berkat gerakan galang dana melaui media sosial ini kemudian alhamdulillah kabarnya terkumpul bantuan sebesar Rp.470 juta untuk Ardian. InsyaAllah sangat bermanfaat tentunya yaa. Semoga balasan yang terbaik Allah berikan pada mereka yang sudah berdonasi. Amiin.

Bukan sekali dua kali ya kejadian pengumpulan dana seperti ini. Bahkan ketika kemudian terbukti ada kasus palsu dan penipuan sekalipun ternyata tidak sedikit yang tetap terenyuh dan mau turun tangan saat ada informasi tentang permohonan bantuan. 

Gak salah sih kalau kita sebut orang Indonesia itu aslinya baik-baik. Mereka pada dasarnya pengasih dan penolong. Solidaritasnya sangat kental. Kabarnya World Economic Forum menempatkan Indonesia sebagai "the second most generous country" sekitar 75% penduduknya suka bersedekah, berderma. 

Terlepas dari gelar dan hasil penelitian tersebut. Sunatullahnya ketika dibagi akan kembali dengan yang lebih banyak. Semakin banyak yang berbagi semakin berkah rezeki. Itulah mengapa semakin banyak gerakan galang dana semakin banyak yang mau mengulurkan bantuan. Kalau berbagi bikin buntung, mana mungkin gerakan galang dana semacam ini terus diminati yaa. 

Banyaknya modus penipuan berkedok permohonan bantuan atau bahkan pengemis yang sering ditayangkan di TV, di media sosial, atau bahkan melalui boardcast yang tak kunjung mereda.  Kondisi ini sering menumbuhkan sikap pesimis dan sinis menghadapi fakta tersebut. "Ngapain ngasih pengemis, rumahnya di kampung segede, gaban mobilnya tiga dan seterusnya." Ini potret nyata bukan sandiwara. Kita, hmm saya bahkan tidak jarang mendapatinya sendiri bukan?

Tapi penipuan atau hal sejenis ini memang ada di mana-mana, mulai dari kelas teri sampai kelas kakap. Kalau kita sering berbaur dan beredar di tengah masyarakat kita akan sering mendapati hal-hal sejenis ini. Orang yang pura-pura kehabisan ongkos? orang yang pura-punya nyasar? orang yang pura-pura tengah kesusahan? bahkan penipuan dilakukan secara online kan yaa? Lalu bagaimana?

Kalaupun kita tidak mau membantu tentu itu pilihan, karena pasti ada alasan dan kondisi yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Sekarang gimana ceritanya kalau sebetulnya kita mampu dan ada untuk memberikan bantuan. Di sisi lain kita ragu, apakah kita ditipu atau memang yang bersangkutan betul-betul membutuhkan. 

"udah kalau ada yang kayak gitu, gak usah dipercaya, tipu-tipu!, rugi kita". Manusiawi sekali kita marah dan kesal saat sadar kita tertipu. Benar apa benar?  Tapi kalau akhirnya kita jadi rugi, Hmm bener gak ya? Kalaupun kita ditipu, apa iya kita rugi? Kan kita gak tahu kalau ditipu, kan niat kita cuma mau bantu. Kalau niat kita baik apa ya ruginya? rugi itu kalau kita bukan mau membantu, tapi ada imbal balik yang diharapkan.

Jujur, pertanyaan semacam ini bertubi-tubi membuat bimbang saat menemukan kasus seperti ini. Tapi kemudian saya berusaha berpikir lebih positif saja. Saat saya memang tidak bisa membantu, misalnya karena tidak membawa uang lebih atau kondisi-kondisi tertentu mungkin bisa lebih cuek ya karena memang ada alasannya, tapi saat memang kita sedang ada? Ada lho yaa. Ada itu tidak berarti banyak atau berlebih ya, tapi cukup ada. Sebaiknya seperti apa?

Rabu, 30 November 2016

Pesawat yang mengantakan saya kembali ke Jakarta dari Lombok di mana kondisi saya beberapa hari di sana sebetulnya kurang fit, mendarat dengan sempurna. Dari bandara, saya nik bus Damri jurusan Lebak Bulus. Turun di halte Pondok Pinang dekat FedEx dan kemudian naik taksi hingga ke rumah. Saya yang memang kurang fit, langsung drop selama di Bus karena AC yang sangat dingin pas mengarah ke arah kepala dan badan sementara kondisi macet luar biasa. Sepanjang jalan rasanya saya sudah mau pingsan. Pusing, meriang, dan akhirnya mual. Sepanjang jalan sambil atur nafas untuk mengurangi sakit saya berdzikir. Laa haula wala quwwata illa billah. Tawakkal. Kuatkan sampai rumah ya Allah. 

Alhamdulillah akhirnya sampai ke halte Pondok Pinang. Turun langsung ada Taxi Express. Saya langsung naik dan berharap taxinya tidak dingin. Supirnya terlihat sudah tua, tubuhnya kurus, kecil, rambut banyak beruban, giginya sudah banyak yang ompong, dan ternyata pendengarannya kurang. Saya harus agak berteriak saat berbicara dengan dia. Diapun harus melirik ke kaca spion untuk bisa menangkap pembicaraan saya. Hmm sabaaar. 

Saya masih lemas dan pasrah. Iya kalau ternyata macet juga ke arah Ciputat, ya sudahlah. Antara sadar dan tidak sadar karena memang saat tidak konsentrasi karena kepala yang berat dan lambung yang mual saya mendengar Bapak supir taksi bercerita panjang lebar. Mungkin saya terlihat cuek dan kurang menanggapi, jujur karena saya lemas sekali. Kalau saya tidak sendiri dalam taksi mungkin saya memilih tiduran di bangku belakang. Tapi saya masih dikuatkan untuk berpikir logis. Bahwa bahaya mengancam di mana saja. Saya harus waspada dan tidak boleh terlihat tak berdaya. Hmm beginilah hidup di Jakarta, banyak curiganya. iya sih waspada maksudnya.

Sejak awal si Bapak bicara panjang lebar dan agak kurang jelas, saya mulai mengamati nama di kartu depan dasborad dan melihat photonya, namanya Erwin Djasmier. Agak buram, photonya terlihat tidak jelas tapi tampaknya tidak sekurus sosok yang duduk di bangku depan di belakang setir. Hmm mungkin photo lama. Lambung taksi tertulis D 7378. Saya yang biasanya selalu memotret lambung taksi dan mengirimkannya pada suami, entah mengapa tidak melakukannya meskipun saya ingat. Mungkin karena kondisi saya yang sudah teler. *pyuuuh*

Iya, saat naik taksi atau kendaraan umum sendirian saya biasanya memotret nomor penting yang bisa jadi pengenal kemudian saya kirimkan pada suami. Saat naik transportasi online, profile pengendara beserta nomor kendaran dan nomor telponnya juga saya screenshot lalu kirimkan ke suami atau ke rekan yang tengah menunggu atau janjian dengan saya misalnya. Hmm untuk antisipasi saja biasanya. In case terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kali itu, saya tidak melakukannya. Entah, mungkin memang begitu skenarioNya.

Si Bapak bercerita bahwa isterinya baru saja melahirkan anak ke 3. Saat ini sedang di RS dan seharusnya diambil pulang tapi dia belum bisa melunasi sisa uang yang harus dibayarnya. Iya harus membayar tebuan sekitar 2,5 juta lagi. Saat ini sudah terkumpul 2,3 juta katanya. Jadi masih kurang 200 ribu lagi. Saat itu jelang maghrib. Katanya, jam 8 dia harus menjemput isterinya di RS Fatmawati. Paling lambat jam 9 laah. Lewat jam 9, dia harus menambah lagi 450 ribu untuk besok. Ini saya dapat uangnya dibantu pelanggan sama yang naik bu. Semoga Ibu bisa bantu ya bu, untuk sisanya. "Iya pak, semoga yaa..." Jawaban saya singkat, normatif, dan tidak sepertinya dingin tanpa harapan.

Sambil mencoba bertahan dan mencari minyak kayu putih dalam tas, mau tak mau saya berpikir keras menanggapi cerita si Bapak. Meski masih lemas dan pusing, saya mencoba menggali lebih jauh keterangan si Bapak. Duuh komunikasinya agak kurang lancar. Saya mesti berulang kali menanyakan satu hal. Iya, bapaknya sepertinya kurang tajam pendengarannya.

Long short story, Bapak ini lagi kesusahan. Hmm agak linglung juga sih kayaknya makanya saya dag dig dug juga nih takut dia kenapa-kenapa. Isterinya baru melahirkan anak ke 3. "Beratnya 3,5 kg, sehat cuma dia gak ada lobang anusnya bu. Sudah 10 hari buang airnya pake selang lewat mulutnya. Sudah dioperasi bu, dibuatkan anus. Untungnya masih ada saluran ususnya jadi hanya tinggal melubangi. Lahirannya di RS Taman Puring. tapi sekarang isteri saya di RS Fatmwati. Biayanya 65 juta, saya sudah dapet bantuan bu, sekitar 45 juta (kalau saya tidak salah dengar), bla bla bla. Cuma sampai sekarang isteri saya masih ditahan di RS blom bisa pulang harus nebus dulu 2,5 juta bu. Uang saya kurang 200rb lagi Bu..." kembali kalimat ini ditekankannya.

Saya lebih banyak mendengarkan awalnya. Jujur saya kaget kok sudah tua si Bapak masih punya bayi kecil. Langsung suudzon, jangan-jangan isteri muda nih. "Hmm emang Bapak umurnya berapa?Kok masih punya bayi kecil, Isterinya umur berapa pak?" Biasanya saya segan tanya-tanya umur harus sedikit berteriak lagi. hihihi

Meski terlihat tua, dan saya menebak usianya jauh di atas 50 tahun, ternyata si Bapak katanya baru berusia 47 tahun. Isterinya berusia 37 tahun. "Beda 10 tahun bu..." "Walah lebih muda isteri Bapak dari saya" "haa? Iya 10 tahun bedanya, makanya jauh lebih muda" hmm "Bukan pak, Isteri Bapak lebih muda dari saya" "Ah masak!" Si Bapak sampai memutar dan memperhatikan wajah saya. "Saya kira Ibunya baru 28 tahun lah, emang berapa umurnya?" "Mau 40 tahun, saya Pak." Ah masak? Mang anaknya berapa?  Lhaa malah dia balik tanya saya ini mah.

"Emang gak KB Pak?" "Lha iya KB dulunya, sih ini udah 17 tahu bedanya sama Kakaknya yang kedua bu. Anak saya yang pertama udah kuliah semester tiga yang kedua semester satu. Ibunya hamil lagi kemarin, yaa gimana lagi. Kebobolan bu...ya namanya juga sudah harus kayak gitu bu." 

Wah hebat Bapak ini anak-anaknya sudah kuliah segala. "Kuliah di mana kakak-kakaknya pak?" Jujur sekalian investigasi meminimalisir keraguan saya akan kebenaran cerita si Bapak. "Yang pertama kuliah di Muhammadiya di Limo, udah semester tiga." "Ohh UHAMKA..." "Yang kedua kuliah di Pancasila, Jagakarsa."

"Waah hebat pak, kuliahnya di swasta semua. Biayanya kan mahal pak." Saya mah anaknya kuliah negeri pake beasiswa lagi, makanya hebat aja kalau bisa sekolah di Swasta yang bayarannya bejibun. Yang pertama itu dapet beasiswa dari Express. Nah yang kedua ini saya mau ajuin juga biar dapet beasiswa. Kemarin masuk sana dibiayai sama adek saya sih. Tapi saya mau ajuin juga beasiswa biar sama kayak kakaknya.

Dari logatnya saya menebak si Bapak ini orang Betawi. Saya mencoba melihat identitasnya di dashboard depan. Hmm namanya Erwin Djasmier, bukan nama Betawi. Photonya juga kurang jelas karena hari sudah gelap. tapi tidak sekurus sosok di bangku depan ini rasanya. jangan-jangan bukan mobil dia? Saya tetap masih curiga *detektif mode on*

"Bapak orang Betawi?" "Bukaan, isteri saya yang orang Betawi. Dulu tinggal di Sawangan sekarang tinggal di Radio Dalam. isteri saya baru dapet warisan dari orang tuanya. Pan tadi saya sudah bilang." Hahaha saya gak fokus pak, pusing, rasanya dia memang tadi Bapak ini sudah menyebutkan "radio dalam". "Emang nama Bapak siapa?" 

Meski sudah membaca namanya saya tetap pura-pura menanyakan namanya. "Erwin, Erwin Djasmier, bukan nama Betawi itu sih" "Orang mana pak?" beneran saya gak bisa mikir deh, padahal jelas-jelas nama ini nama-nama Sumatera yaa. "Padang bu, bapak dan ibu saya Padang tulen." "Kok Bapak ngomongnya kayak orang Betawi banget, ketularan isterinya yaa " maksud saya cablak, kenceng-kenceng gitu, setelah agak lama mencerna rasanya masuk akal kalau si bapak ini cablak, mungkin karena kurang dengar. "Saya lahirnya di Jakarta, tapi orang tua Padang asli, nikah sama orang Betawi."

"Ibunya kerja? habis dari mana, dinas?" "Iya dari Lombok." Kok baru nyampe? Bla bla bla... Gantian malah si Bapak menginvestigasi saya. Anak berapa? usia berapa? kerja di mana? kalau Ibunya kerja pergi-pergi anaknya sama siapa?

"Hahaha saya kira baru 28 gitu hahaha... anaknya masih kecil-kecil ya." Sial si Bapak ngetawain saya hehe. "Iya pak, saya kan nikahnya telat. isteri bapak umur berapa nikahnya usia 37 anaknya sudah kuliah." "Brapa yaa? 20 tahun kali apa kurang yaa. Pokoknya dia juga dulu udah kerja waktu nikah sama saya. Dulu kerja di bla bla, trus pindah ke bla bla...Terakhir di bla bla...Kemarin hamil yang ketiga ini baru berhenti kerja karena gak kuat capek." Hmm pantas saja anaknya bisa kuliah isterinya juga membantu mencari nafkah.

"udah berapa lama jadi supir taksi pak?" "udah 17 tahun bu..."  Dua minggu lagi lunas ini mobilnya. Cuma kalau dijual ke pool saya dapet harga 58 juta, kalau dijual ke orang lain harganya bisa 65 juta sih. Cuma kalau dijual ke orang lain kan saya harus rapihin dulu mobilnya. Susah ah, saya gak ada duit buat ngerapihin. saya mau jual ke poola ja. Trus nanti Bapak gimana? gak kerja lagi. Saya bingung dan heran. 

"Ya nanti saya dapet mobil baru lagi mbak, mulai dari awal lagi, nanti mobilnya yang jenis sedan bla bla bla, bukan bla bla ba..." Jujur meski dia bicara cablak banyak yang kurang jelas, selain saya kurang fokus. Bapak itu giginya banyak yang ompong jadi kurang jelas bicaranya. 

Rasanya agak gimana gitu, ngobrol sambil sahut-sahutan. Termasuk saat menunjukkan alamat rumah saya. Saat saya menyebutkan ke kanan dengan pelan eh si Bapak lurus saja karena gak dengar. Saya terpaksa colek dan menggunakan isyarat tangan. Akhirnya sampai juga ke rumah. Alhamdulillah perjalanan terhitung lancar. 

Paksi keluar menyambut saya. "Hahaha anak yang kecil itu yaa..." si Bapak memindahkan koper dan kardus oleh-oleh dari bagasi ke teras rumah. saya masih utak utek mencari uang. Dompet kecil tempat recehan setelah saya buka-buka memang tidak lebih dari 150 ribuan. Mungkin kalau dijumlahkan receh-recehnya bisa 200 ribuan. Saya sudah membulatkan niat akan memberinya 200 ribu, sejumlah uang yang dibutuhkan si Bapak sesuai dengan ceritanya. Tapi bahkan hingga detik terakhir godaan itu masih ada, "paling si bapak ini nipu lah" begitu alam bawah sadar saya membisiki, Ityulah kenapa saya harus kesulitan menemukan dompet. Rupanya ada di bagian paling bawah tas ransel saya. 

Paksi minta dibukakan pintu mobil dan ikut duduk di samping saya. langsung cium-cium manja dan dengan suara yang dimanja-majakan melapor bahwa hari Jumat dia akan jalan-jalan dengan guru dan teman-temannya ke RS. Si Bapak melirik sambil senyam senyum. Duuh si Ibu ini lama banget bayarnya...mungkin begitu kali di pikirannya. Gak sampe 50 ribu aja nagmbil duitnya repot banget."

Akhirnya saya menemukan dompet saya. Saya sodorkan 200 ribu. Muka si Bapak tampak agak canggung, datar, dan bingung. Rasanya dia ragu saya bakal membantunya. Sedari tadi memang saya tak mengeluarkan nada simpati dalam obrolan saya. Bukan karena tidak simpati. Tapi saya sebetulnya "ngageleyeng" sejak tadi, bertahan untuk tidak pingsan. Sumpah "leleus" pisan!

Saya akhirnya memilih untuk mendengarkan dan mempercayai diri saya sendiri bahwa memberi tidak akan merugi meskipun sejujurnya saya tidak sepenuhnya percaya dengan cerita panjang si Bapak. Apalagi ekspresi mukanya yang datar saat saya memberinya uang sejumlah yang dia minta.

"Makasih bu, Makasih bu," Dia tampak gugup dan agak kaget disertai tawa lebar yang atmpak canggung mmperlihatkan deretan giginya yang sudah lebih banyak yang tanggal. "Semoga anak Bapak segera sehat ya pak, Bapak bisa jemput isteri Bapak." Saya peluk dan gendong Paksi keluar dari Taksi tua tersebut. Saya tidak yakin si bapak mendengar yang saya ucapkan. Saya tidak mungkin mengucapkannya sambil setengah berteriak, rasanya seperti orang tidak ikhlas hahaha. Serba salah yaa, hahaha. 

Iya apa ruginya kalau saya kasih kan? kebetulan saya juga ada uang segitu. Kalau dia bohong, saya juga gak rugi apa-apa kok. Kan urusannya saya sama Allah, selama niat saya lurus ya kan? Kalau dia ternyata dia menipu saya, ya urusan dia dengan Allah juga. Tidak ada yang luput dari perhitunganNya. Bukan urusan saya lah yaaa.

Kalau ternyata ceritanya benar terus saya gak kasih, apa yang sudah saya lakukan? pasti saya menyesal luar biasa.  Kalau ternyata benar, maka dengan 200ribu saja Isteri Pak Erwin entah benar demikian namanya atau bukan  bisa kembali ke rumah. Anak-anaknya yang besar bisa kembali masuk kuliah setelah beberapa hari tidak kuliah menunggui Ibunya. Ibunya bisa segera pulih dan mengurus si kecil. 

Alhamdulillah saya memilih mempercayai diri saya sendiri dan tetap berpikir positif. Apapun di balik cerita Pak Erwin. Jujur saya lega saat itu.

Jumat, 2 Desember 2016

Suami saya pulang dari Aceh. Menggunakan Damri. Turun di FedEx lanjut dengan Taksi.


Sabtu, 3 Desember 2016

Kondisi tengah macet di jalanan Pondok Indah. Kami berada dalam mobil sepulang mengurus sesuatu di daerah Senayan.

"Yah, aku belum cerita ya kemarin aku pulang dari Lombok naik Damri dari Bandara. Trus seperti biasa naik taksi di FedEx. Dapetnya Ekpress butut. Supirnya sudah tua, kurus, kecil, rambutnya putih. Dia cerita banyak di mobil ..."

"Isterinya di RS, butuh uang, tinggalnya di Radio Dalam, umurnya 47 isterinya 37, sudah lama jadi supir taksi, bla, bla blaa..."

"aku udah cerita ya?" "belum" jawab ayah anak-anak kalem. Kami langsung berpandang-pandangan. "Hmmm jadi ayah kasih berapa? 200 ribu juga?" Enggak aku aksih lebih aja tapi gak sejumlah itu. "Dari awal aku sudah curiga, dia benar-benar tuli atau pura-pura bodoh" "Pas masuk komplek, dia keceplosan kalau dua hari lalu juga ngantar orang ke komplek kita. Aku coba cecar, kupikir mungkin kamu. Tapi terus dia bilang pas belok ke arah rumah kita." "ooh bukan kemarin jalan ke sana".

Aku hanya bisa tertawa Asem! tapi rasanya memang tidak terlalu marah atau kecewa karena kemarin saya memilih untuk mempercayai pikiran saya sendiri meski ternyata tidak tepat. , pasti karena saya tidak terlalu percaya dengan cerita fiktif si Bapak yang saya juga gak yakin namanya Erwin Djasmier, orang Padang dan usianya 47 tahun.

Well, silahkan sahabat Mom of Trio mengambil hikmah masing-masing dari cerita ini yaa...

8 comments

  1. Semoga ada gantinya nanti ya, mba dan suami juga 😊 Saya sih maklum namanya juga kondisi langsung ya, belum tentu juga bisa berpikir matang2 kalau saya yg dikondisikan saat itu. Lagipula memang ada sih mba orang yg pakai ilmu pukau dg bercerita panjang lebar lantas kita pun digerakkan untuk ngasih tanpa sadar. Entah dia begitu atau enggak, Allah yang tau.

    ReplyDelete
  2. Hmmm tertegun mbaak baca ending ceritanyaa. . Tak apa tp krna memang berbagi tak pernah merugi, meskipun yg dibagi melalui cara yg tdak benar. Insya Allah niat baiknyaa mbak berkaah. Aamiin. . Tfs mbaak, salam kenaal 😁🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiin...salam kenal juga mba. makasih sudah mampir

      Delete
  3. Semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita akan menerima.

    ReplyDelete
  4. Paling males itu kalo naik taksi, si sopir yang nanya-nanya. Demi keamanan, biasanya aku menjawab dengan mengarang bebas. Mestinya aku dong yang nanya2...biar bisa jadi bahan tulisan #eh :D

    ReplyDelete
  5. Mbak saya baru mengalami dgn supir yg sama naik dari depan Points Square Lebak Bulus!

    ReplyDelete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.