Buku yang sebetulnya bisa habis dibaca sekali duduk ini menurut saya mengusung tema yang tak lekang waktu. Tema yang akan selalu familiar di antara kita, di setiap masa. Tema cinta dan bagaimana perjalanan sebuah cinta. Tema yang selalu menarik bukan. Apalagi tema tentang cinta yang berangkat dari proses rekayasa perjodohan, Ups ini bukan semacam cerita Siti Nurbaya kok.
Eh iya, sayangnya saya hampir dipastikan tidak bisa menyelesaikan satu kegiatan tanpa interupsi krucils, jadi buku yang hanya setebal 177 halaman ini tidak bisa saya habiskan langsung.
Hmm jadi saya butuh pemanasan lagi saat melanjutkan bacaan saya. Tapi tidak sulit karena seperti saya sampaikan di awal, novel yang ditulis oleh sahabat penulis sekaligus blogger Eni Martini ini memang mengangkat tema yang dapat dengan mudah saya selami. Kenapa?
Well, karena saya rasanya seperti dejavu dengan soosk Eliz, tokoh utama di novel ini. Iya, pada masanya saya juga sempat mengalami masa menjadi sosok ini. Perempuan di usia rawan namun belum menemukan pasangan hidup. Perempuan di usia jelang 30 tahun atau 30 tahun lewat yang sebetulnya menarik, supel, punya karir yang bagus, berpendidikan tinggi dan cerdas. Hmm aku banget yaaks, pada masanya Halah!
Kenapa tema ini dalam novel "Learning to Love" ini tak lekang waktu?
Karena selalu ada perempuan-perempuan yang ada pada posisi Eliz pada
setiap masanya bahkan di jaman now sekalipun. Kemudian jalan menuju cinta harus ditemukan melalui proses "campur tangan" keluarga atau rekan atau orang lain dengan proses perjodohan juga hal yang masih terus terjadi hingga saat ini.
Mereka yang masih sulit membuka hati untuk belajar mencintai seseorang yang datang di masa rawan karena masih sendiri, mungkin bisa membaca buku ini untuk mendapat perspektif yang berbeda. Hmm coba saya membaca novel Mba Eni ini di usia 24 atau 25 tahun ya, jadi saya tak perlu menunggu hingga usia 29 tahun untuk menikah hahaha.
Perspektif novel ini adalah bahwa cinta dan mencintai merupakan sebuah kondisi yang bisa berangkat dari sebuah usaha bahkan jika usaha ini direkayasa (dalam arti positif). Rekayasa yang juga sebetulnya menurut saya sangat lazim terjadi, perjodohan. Jangan alergi yang sama perjodohan karena banyak lhoo yang mendapatkan kisah bahagia hasil perjodohan.
Cinta bukanlah sesuatu yang hanya jatuh pada pandangan pertama. Cinta bukan hanya perasaan "Zing" yang muncul tanpa diduga layaknya Mavis dan Jhonny atau Papa Drac dan Mamanya Mavis di Film Hotel Transilvania. Cinta bisa hadir dari ketulusan proses belajar bahkan setelah pernikahan.
Iya, saya dulu semacam perempuan yang berprinsip bahwa menemukan pasangan hidup itu harus diawali oleh cinta dan cinta itu sesuatu yang kimiawi, harus ada chemistry yang mengikatnya. Semacam teori zing milik Papa Draclah. Nyatanya kemudian setelah sekian tahun menikah, yang mana pernikahan saya berawal dari chemistry, ternyata tidak seratus persen benar apa yang saya yakini tersebut.
Cinta bisa muncul dari proses belajar dan usaha yang tidak berhenti untuk menyuburkannya di hati masing-masing pasangan. Demikian halnya cinta yang diagung-agungkan sebagai dasar pemersatu sepasang manusia dalam ikatan suci pernikahan bahkan bisa terkikis habis jika tidak dijaga, dipelihara, dihangatkan, dan disuburkan. Cinta bahkan bisa berubah menjadi benci karena pengkhianatan dan hal-hal lain yang tak terduga.
Sepasang manusia yang belajar mencintai dalam pernikahan yang hadir dari ajang perjodohan keluarga. Eliz, perempuan berkarir yang sudah sedemikian nyaman dengan ritme hidupnya termasuk kesendiriannya di usia yang sudah mapan. Ken, pria tampan, berpendidikan, karir yang menunjang dan dari keluarga baik-baik. Perjodohan keduanya yang berjalan demikian lancar membuat saya sebagai pembaca sempat agak curiga akan ada sesuatu yang menghadang proses keduanya menemukan cinta dalam biduk rumah tangga mereka yang masih baru.
Halaman demi halaman saya buka, hmm tampaknya ceritanya mengalir dengan baik, ringan dan renyah. Saya demikian mudah mengikutinya, mungin karena memahami karakter Eliz dengan penuh pengahayatan. Baca seperti membaca sosok diri.
Sampai pada cerita di mana muncul tokoh Kania. Deg! jangan-jangan....
Saya memang sejak awal berharap Eliz dan Ken bisa menjalani proses perjodohan dan melewati masa-masa awal perkenalan perkawinan mereka dengan lebih mudah. Saya sempat agak gemas pada Eliz yang sering menunjukkan sikap sok "strong" dan enggan menunjukkan sisi keperempuanannya meski rasa cinta mulai datang menyapa.
Saya juga agak sebal dengan Ken yang terlalu "mars". Tapi memang sosok Ken tampak sangat sempurna mewakili lelaki di usia matang yang memiliki hampir semuanya kecuali calon pasangan hidup. Pria pemilih yang masih terikat dengan bayangan wanita sempurna impiannya.
Saya agak kaget ketika kemudian Kania justru yang menjadi tokoh yang menghadirkan kesadaran di hari Eliz. Kania dan peran yang dilakoninya menjadi salah satu surprise dari novel yang mengalir ringan ini. Jadi bagaimana selanjutnya hubungan dan cerita cinta dalam pernikahan hasil perjodohan antara Eliz dan Ken? Hmmm baca aja bukunya yaa hahaha.
Judul: Learning to Love
Penulis: Eni Martini
Halaman: 177 halaman
Editor: Ruth Priscilia Angelina
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Jenis Buku: Novel/Fiksi
Kece banget covernya. :D
ReplyDeleteTerbitan 2014, ya? Di Gramed masih ada? :o
ReplyDeleteJadi penasaran pengen baca. :D Teenlit ya?
ReplyDeleteWaah, tengkyu mb Ophi atas resensinya
ReplyDeleteWah ini yang nulis mba Eni ya, jadi penasaran sama endingnya :)
ReplyDeleteAda versi ebooknya gak ya. Pengen beli...
ReplyDeleteJadi penasaran sama bukunya, beli ah :)
ReplyDeleteWah yang nulis mba Eni?keren sekali :) pengen baca jadinya
ReplyDeleteBaru tau saya kalo mbak Eni penulis novel 😊 bagus nih ceritanya, jadi penasaran pengen baca endingnya gimana..
ReplyDeleteNovel drama selalu menarik disimak, boleh juga :0
ReplyDeleteWah bukunya Mbk Eni Martini keren diulas Mbk Ophi. Iya nih perjodohan bisa bahagia kalau diusahakan, dipupuk dan dirawat ya. Jadi penasaran dengan novelnya.
ReplyDeleteMba, bukunya bisa beli di mana?
ReplyDelete