![]() |
Sumber: Youtube Katadata |
Bayangkan jika suatu pagi kita bangun tidur dan tidak ada air untuk cuci muka, mandi, minum atau kebiasaan pagi kita. Seberapa pusing kita menghadapi kondisi tersebut. Mungkin kita akan cek mesin pompanya, memastikan sumurnya tidak kering, memanggil tukang pompa atau ledeng, atau bahkan jika di perkotaan kita harus membeli air atau meminta tetangga? Bahkan dalam kondisi kritis, air menjadi barang mahal yang harus diperebutkan dan didapatkan dengan kompensasi dan harga tertentu.
Masalah air ternyata tidak hanya terkait masalah lingkungan namun juga masalah sosial dan ekonomi. Jaga Semesta mencari cara untuk menyadarkan masyarakat terkait permasalahan air yang dihadapi bersama. Meyakinkan bahwa masalah ini bukan masalah yang akan terjadi di masa depan namun sudah terjadi saat ini, sekarang! di depan mata kita!
Krisis Air Bersih, Fakta Nyata Orang Jawa Hari ini
Setiap tahun saat memperingati Hari Air Dunia pada tanggal 22 Maret, warning krisis air bersih selalu digaungkan. Indonesia yang dalam sejarahnya memiliki sumber air alami dan bersih yang sedemikian kaya tak pelak harus menghadapi kenyataan yang cukup menyedihkan.
Bukan hal yang tak terduga sebetulnya. Jauh sebelumnya, kita selalu diingatkan akan sampai pada kondisi kritis jika tidak ada upaya nyata secara bersama dari semua pihak untuk menyelamatkan air di tanah kita tercinta, terutama di Pulau Jawa. Pulau dengan jumlah penduduk terpadat di atasnya. Mari kita cek angkanya!
Jawa dan Bali Nusa Tenggara sebagai dua gugus pulau besar di Indonesia yang memasuki fase krisis air. Pulau Jawa kekurangan 118 miliar meter kubik per tahun untuk memenuhi kebutuhan.
Dari 2.198 sungai di Indonesia, 96 persen cemar ringan hingga cemar berat. Hanya 2,19 persen yang memenuhi baku mutu. Sedemikian banyak daerah aliran sungai (DAS) tercemar karena limbah rumah tangga dan Industri.
Fakta ini diungkap oleh Deputi Bidang Tata Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan KLH saat peringatan hari air dunia tahun lalu. Kondisi serupa masih berlanjut di tahun ini. Pada sebuah webinar memperingati Hari Air Dunia ke 33 tahun ini, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan mengutip data dari BNPB dan Kemen PU menyampaikan bahwa:
"Hingga Maret 2025 sekitar 28 juta warga Indonesia masih harus mendapatkan perhatian dalam akses air bersih setiap hari,"Jadi 10% dari warga negara Indonesia mengalami krisis air bersih setiap hari. Yes, setiap hari.
- 35% wilayah di Jawa mengalami kekeringan pada tahun 2024.
- Lebih dari 5 juta orang berisiko mengalami kekurangan air bersih pada tahun 2025.
- Kerusakan pada mata air telah menyebabkan penurunan keluaran air hingga 70% di beberapa daerah.
Jaga Semesta mengidentifikasi bahwa akar masalahnya terletak pada kerusakan sumber air alami yang sangat penting bagi kehidupan. Deforestasi, konversi lahan, dan polusi menyebabkan penurunan yang signifikan dalam aliran dan kualitas air mata air.
Sebuah kampung tempat kelahiran saya di wilayah barat Kabupaten Cirebon di tahun 1970 an - 1980 an merupakan wilayah dengan supply air bersih dari alam yang sangat aman. Posisi kampung berbatasan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka.
Pemandangan gagahnya Gunung Ciremai yang melatari kampung menjadi keindahan tersendiri. Era 70an -80 an, penduduk setempat menggunakan air minum dari sumur yang tak pernah kering meski musim kemarau. Untuk mandi serta mencuci baju dan peralatan rumah tangga bahkan cukup mengunakan air sungai.
Sungai dengan air yang jernih mengalir dari pesawahan hingga ke kali/sungai kecil di depan rumah-rumah penduduk yang kemudian dialirkan ke kolam-kolam cuci milik perorangan ke rumah masing-masing. Sungai yang juga tak pernah kering saat kemarau, hanya surut beberapa centi saja. Air kali/sungai yang jangankan manusia, ikan sungai, udang-udang kecil, dan hewan air berhabitat di sana dengan amannya.
Hari ini bahkan sumur-sumur di sana banyak yang sudah kering, padahal bukan musim kemarau. Konsumsi air bersih menggunakan aliran PDAM. Agak ironis masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah dekat hulu sumber air pegunungan harus membayar cukup mahal untuk konsumsi air bersih.
Usaha peternakan ikan di kolam-kolam atau biasa disebut balong, sudah tidak menjanjikan lagi. Kualitas air sudah tak mendukung produktifitas peternakan ikan. Di sektor pertanian, produktifitas tanaman padipun menurun karena kualitas tanah dan air yang jauh menurun. Selain deforestasi di kawasan hulu, limbah pabrik pengolahan batu alam di beberapa desa sekitar kampung menjadi penyumbang besar semakin parahnya kehilangan air bersih dari alam.
Kilas Balik Kehadiran Negara Untuk Konservasi Tanah dan Air
Kesadaran akan pentingnya konservasi tanah dan air hakikatnya sudah menjadi perhatian sejak lama. Lebih dari satu dekade lalu, Pemerintah dan DPR menyepakati untuk mengesahkan sebuah Undang-Undang yang mengatur mengenai konservasi tanah dan air. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
Undang-Undang ini lahir salah satunya dilatarbelakangi oleh fakta sosiologis bahwa kondisi tanah dan air sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan sangat mudah terdegradasi fungsinya karena posisi geografis dan akibat penggunaan tanah dan air yang tidak sesuai dengan fungsi, peruntukan, dan kemampuannya.
Hal ini menegaskan perlunya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan terhadap tanah dan air melalui upaya konservasi. Sebuah alarm bahwa negara harus hadir serius melakukan langkah nyata yang berkelanjutan untuk menyelamatkan air di bumi Indonesia. Kerusakan ekosistem mata air membutuhkan tindakan serius termasuk kebijakan setingkat undang-undang untuk mengatasinya.
Undang-Undang ini mengamanatkan kepada pemerintah (pusat dan daerah) untuk menyelenggarakan konservasi terhadap tanah dan air di wilayah Indonesia sesuai dengan kewenangannya. Pun, masyarakat diberikan kesempatan yang sama untuk berperan serta melakukan konservasi dengan memperhatikan kearifan lokal.
Jika dihitung mundur sejak lahirnya Undang-Undang tentang Konservasi Tanah dan Air tahun 2014 maka tergambar dari catatan pembangunan nasional, kegiatan konservasi telah menjadi program yang secara berkelanjutan dilakukan oleh setiap rezim kepemimpinan di Indonesia dengan beragam nama dan bentuk (gambar terlampir).
![]() |
Sumber: Data diolah dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Konservasi Tanah dan Air, Deputi Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR RI, 2014. |
Semua upaya yang dilakukan pemerintah selayaknya berkelanjutan dan tidak berfokus pada program semata. Lebih jauh pelibatan seluruh pihak tentu menjadi kunci dari keberlanjutan dan aksi nyata dalam upaya pemulihan tanah dan pelindungan air dan sumber air. Upaya pemulihan membutuhkan keterlibatan semua pihak yang senyatanya tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap air bersih dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika tantangan terhadap kelestarian sumber air semakin memprihatinkan hari-hari belakangan, kebijakan semacam reboisasi tampaknya tak pernah lagi terdengar. Justru konversi hutan lindung sebagai tempat sumber air alami menjadi lahan-lahan hutan produksi terus terjadi. Pembukaan kawasan hutan alam untuk tujuan penambangan, perumahan dan property, atau industri (termasuk pariwisata) semakin menjadi-jadi mengejar keberhasilan investasi atas nama pembangunan.
Bergerak Bersama, Pulihkan Mata Air
Berangkat dari semangat menjaga air, Melissa Mina dan para penjaga air di Jaga Semesta bergerak bersama untuk melakukan restorasi di berbagai sumber mata air yang telah mengalami penurunan fungsinya atau bahkan telah rusak dan tidak berfungsi sama sekali. Mengalirkan kembali air bersih, mengalirkan harapan.
"Jaga Semesta berdiri dengan tujuan untuk membuktikan bahwa menghadapi permasalahan air, kita tidak hanya bisa berdiam dengan memasrahkan kepada pihak yang berwenang untuk menyelesaikannya. Karena jika kita hanya berpangku tangan, bisa jadi sudah terlambat mengingat kondisi saat ini kita sudah memasuki fase survival. " Ungkap Melissa.
Kolaborasi dan keterlibatan antar pemangku kepentingan yang berbasis akar rumput menjadi ciri khusus dari berbagai proyek yang digawangi Jaga Semesta. Selain para pemangku kepentingan, dilibatkan pula relawan, termasuk para tetua desa, komunitas lokal termasuk kelompok tani, kelompok pemuda, warga RT/RW setempat, akademisi, dan ahli hidrologi.
"Bahkan pada kesempatan terakhir, kami berkolaborasi dengan pondok pesantren dan kelompok pemuda". Melissa juga memastikan ke depannya dimungkinkan jika ada perusahaan yang berniat menjalankan program CSR melalui kolaborasi dengan Jaga Semesta dalam bentuk restorasi sumber air.
Terdapat 290 relawan dengan berbagai latar belakang keahlian yang telah terdaftar sebagai bagian dari keluarga Jaga Semesta, - Para Penjaga Air.
Dukungan juga diperoleh dari 70.000 lebih followers yang giat menggaungkan kegiatan pemulihan sumber air lewat kanal media sosial. Saat ini, setidaknya telah terdokumentasi 15 penjaga mata air lokal (yang sayangnya jarang diceritakan), 4 mata air yang telah dilakukan restorasi, dan sebanyak 157 juta liter per tahun, debit air yang telah ditingkatkan.
Pelibatan komunitas lokal setempat dalam restorasi sumber mata air dilakukan agar kelak air dapat dipakai dan diakses bersama-sama dan secara adil. Kolaborasi menumbuhkan komitmen jangka panjang semua pihak. Individu yang terdampak biasanya lebih mudah tergerak. Mereka bisa menjadi driven yang daya dorongnya lebih besar. Terlebih jika mereka menginginkan perubahan menuju sesuatu yang lebih baik dan berhasil mewujudkannya. Rasa memiliki akan menumbuhkan rasa tanggung jawab.
![]() |
Sumber: Jaga Semesta |
Restorasi Mata Air dengan Mengembalikan Siklus Alami Air
Jaga Semesta bersama komponen yang terlibat didalamnya melakukan pengamatan terhadap berbagai sumber air/mata air, mengidentifikasi strategi restorasi yang optimal, dan memberikan edukasi mengenai pentingnya pelestarian lingkungan hidup.
Jaga Semesta melakukan pengamatan dan mapping di lebih dari 500 mata air di seluruh Pulau Jawa dan menemukan insight yang signifikan bahwa banyak kondisi mata air yang mengkhawatirkan akibat tren pariwisata. Di Jawa Tengah misalnya lebih dari 60% mata air yang digali dan diubah menjadi kolam renang modern.
Selain itu banyak mata air yang semakin lama semakin menghilang dengan turunnya debit air. Salah satunya, debit air di mata air utama Pasuruan telah turun dari 6000 liter/detik menjadi sekitar 2500 liter/detik akibat keberadaan lebih dari 700 sumur artesis yang dibor dan konversi lahan dari hutan menjadi perkebunan hortikultura. Beberapa mata air besar mengalami kerusakan akibat penggunaan semen, sementara mata air kecil di daerah pegunungan menyusut akibat konversi lahan.
Yang menarik, Jaga Semesta melakukan restorasi dengan pendekatan menggabungkan science (ilmu pengetahuan), pengetahuan tradidional, dan mobilisasi komunitas. Menjadikan masyarakat lokal sebagai penjaga jangka panjang sumber air mereka. Mereka unik karena menenun kenangan budaya dalam konservasi. Air tidak hanya dilihat sebagai sumber daya namun warisan dan ketahanan.
Tujuan utamanya adalah memberdayakan komunitas dan mengembangkan tanggung jawab bersama. Komunitas lokal didorong untuk berpartisipasi dalam inisiatif restorasi melalui 'gotong royong', yang menumbuhkan rasa memiliki terhadap warisan alam mereka, termasuk dalam merestorasi mata air dan menanam pohon untuk meningkatkan daya tahan air.
Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mapping dan identifikasi sumber/mata air yang mengalami kerusakan. Sejauh ini banyak masukan dari masyarakat terkait dengan sumber mata air yang perlu segera dilakukan restorasi. Selain itu dilakukan juga mapping terkait dengan pihak-pihak yang diajak bekerja sama. Kelompok pemudakah? kelompok petani atau pekebun, RT/RW dan warga setempat? Tim Jaga Semesta kemudian melakukan pemantauan ke lokasi dengan melibatkan masyarakat lokal untuk menetapkan langkah-langkah restorasi.
![]() |
Sumber: Jaga Semesta |
Langkah restorasi pada intinya mengembalikan siklus alami air menjadi lebih sehat, memastikan air hujan kembali ke tanah sebagai tempat resapan air, dan memastikan suhu daratan tetap dingin agar mendorong turunnya hujan. Untuk menurunkan suhu daratan, perlu dilakukan lebih banyak penanaman pohon dan pengurangan penggunaan semen atau beton yang justru tidak menunjang kesehatan sumber mata air.
Pohon yang ditanam, semaksimal mungkin cocok dengan karateristik tanah dan lingkungan sumber air seperti pohon endemik. Biasanya pohon bambu juga banyak digunakan mengingat kemampuannya menahan air serta pertumbuhannya yang cepat. Selain itu, pohon beringin atau pohon randu merupakan pohon penahan air yang banyak ditemukan di kawasan sumber mata air.
Kearifan lokal juga menjadi pertimbangan dalam program restorasi. Dalam pemilihan pohon misalnya memperhatikan kebiasaan masyarakat lokal termasuk tradisi budaya yang melekat di sana. Namun demikian, Jaga Semesta tetap melakukan edukasi jika ternyata jenis pohon yang ditanam di sekitar area sumber air justru dari jenis yang tidak sesuai dengan ekosistem lahan setempat dan fungsi konservasi.
Kolaborasi antar relawan penjaga air juga cukup intens bahkan lintas daerah. Dalam proses pencarian bibit pohon, para relawan bisa saling bertukar infomasi bahkan bertukar bibit untuk jenis pohon yang sedang dibutuhkan untuk restorasi di wilayah atau daerah lain. Terasa guyub dan supportif satu sama lain.
Jaga Semesta menyebarluaskan kesadaran bahwa permasalahan air bisa diselesaikan secara bersama-sama dan tidak membutuhkan solusi berupa teknologi yang mahal. Solusinya bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana dan dimulai dari setiap individu. Sesederhana memulihkan sumber mata air dengan membersihkannya dari limbah dan sampah serta mengembalikan pada lingkungan dan ekosistem alaminya.
Jaga Semesta mematahkan persepsi bahwa permasalahan lingkungan bisa diselesaikan hanya oleh ahli geologi hidrogeologi ataupun aktivis lingkungan saja. Nyatanya permasalahan tersebut bisa diselesaikan oleh kita semua. Solusi konkrit yang bisa dilakukan oleh siapapun.
Untuk memudahkan sosialiasi pada khalayak yang lebih luas, diberikan visual melalui konten before-after. Konten-konten ini disebarluaskan oleh puluhan ribu followers. Harapannya, citizen journalism mendorong gerakan ini menjadi lebih besar, tidak hanya di Jawa namun seluruh Indonesia. Jaga Semesta menginisiasi dan menyebarkan inspirasi untuk terwujudnya gerakan serupa.
Melalui Jaga Semesta, Melissa Mina dan rekan-rekan ingin mendorong untuk terus memperluas aksi dan mengajak lebih banyak orang menjaga mata air demi mata air. Cita-cita jangka panjang, pada 2040 terbentuk jaringan penjaga air seluruh negeri yang memastikan keamanan air Indonesia untuk generasi yang akan datang.
Rujukan:
- https://jagasemesta.org/
- https://www.kompas.com/properti/read/2025/06/16/140000421/28-juta-warga-indonesia-alami-kesulitan-mengakses-air-bersih.
- https://katadata.co.id/ekonomi-hijau/ekonomi-sirkular/67e3ffac5c03e/klh-sebut-pulau-jawa-dan-bali-sudah-masuk-fase-krisis-air-bersih
- https://youtu.be/1yeHmr5lfyg?si=8JCqHXRz99X-oOVP
- https://www.youtube.com/@JagaSemesta
No comments
Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.