HARI PANGAN SEDUNIA: Petani Pejuang Pangan dan Gizi Bangsaku

 “Artikel Lomba Hari Pangan Sedunia 2015 diselenggarakan PERGIZI PANGAN Indonesia”
petani pejuang pangan dan gizi bangsaku

"Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,  pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman"  (Pasal 1 Undang-Undang No.18 tahun 2012 tentang Pangan).

petani pejuang pangan dan gizi bangsaku


Ada yang berubah dari suasana desa tempat ku lahir dan dibesarkan, dulu dan kini. Tidak sepenuhnya berubah. Masih ada yang membuatku ingin melihat kembali potongan kisah masa kecil yang menyenangkan sebagai anak desa. Satu di antaranya adalah berjalan menyusuri jalan setapak di antara hamparan padi. Sawah-sawah yang terasa makin kecil dan sempit masih menyisakan nuansa desa yang selalu ku rindukan. 

Sebagai seorang anak petani, *yups aku anak petani, hamparan sawah memberi rasa nyaman dan tenang. Meski almarhum Bapak dan Mimi keduanya mungkin tidak mencangkul atau membajak sendiri di sawah milik mereka. Namun memiliki beberapa petak sawah yang dikelola secara bagi hasil dengan Mang Iyeng tetap membuat aku merasakan ritme kehidupan petani. Mang Iyeng dan keluarganya yang mengurus segala keperluan bercocok tanam. Mencangkul, membajak, menyemai bibit, menanam, memberi pupuk, bahkan saat memanen. Mimi (tepatnya demikian, karena Bapak sangat sibuk dengan urusan mengajarnya) sebagai pemilik tanah dan yang menyiapkan benih serta biaya perawatan untuk tumbuh kembangnya padi di sawah.

Mereka bekerja sama secara sistem bagi hasil. Konsep kerjasama yang biasa dilakukan di masyarakat desa kami. Pemilik sawah dan petani penggarap bersepakat apakah hendak menggunakan sistem bagi hasil "mertelu" (satu per tiga) atau "memaro" (satu per dua). Jika bibit dan kebutuhan perawatan ditanggung pemilik sawah dan petani penggarap hanya mengurus dan mengerjakan, biasanya digunakan sistem mertelu. Pemilik sawah menerima dua per tiga hasil panen sedangkan petani penggarap satu per tiga. Jika digunakan sistem memaro artinya benih dan keperluan perawatan ditanggung si petani penggarap, maka pembagian hasil panennya dibagi dua antara mereka.

Dengan sistem bagi hasil dan sistem kerja seperti inilah, orangtuaku memenuhi kebutuhan pangan pokok keluarga kami. Selama 17 tahun tinggal di rumah bersama orang tua. Saya (dan kami sekeluarga) hanya mengonsumsi nasi dari beras yang digiling di salah satu pabrik penggilingan padi di desa sebelah. Gabah yang dihasilkan dari sawah kami sendiri. Petani penggarap seperti Mang Iyeng umumnya tidak hanya mengelola  sawah milik satu orang. Bisa dua atau bahkan tiga. Sehingga Mang Iyeng dan keluarganyapun memiliki pola konsumsi pangan pokok seperti kami dari hasil bagi hasil kerjasama pertaniannya. 

Untuk tanaman selain padi, dulu kamipun tidak terlalu sering ke pasar untuk melengkapi menu makan kami. Kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, terong, daun melinjo, tomat, dan lainnya tersedia di sekitar rumah, di galengan sawah atau di kebun. Ikan segar air tawar, pun kami bisa ambil langsung di Balong (kolam ikan).Kami juga memelihara ayam dan unggas lain di rumah. Tidak hanya itu kami bahkan punya pohon nangka, jambu air, pepaya, mangga, pisang, dan tanaman buah lain di pekarangan rumah dan di kebun. Semua bahan makanan ada di sekitar kami. All these great foods are fresh from our farms. Sungguh surga kecil yang tak bisa kita ingkari. Ah alhamdulillah pernah mengalami masa indah itu. Masa indah menjadi anak petani...*ihiyyy. 

Petani bukan hanya kami yang berusaha tani di bidang pertanian pangan lhoo, berikut saya kutip definisi Petani berdasarkan dua undang-undang:
petani pejuang pangan dan gizi bangsaku


Kami memang tidak menghasilkan produksi padi yang melimpah hingga bisa didistribusikan ke tempat lain atau bahkan diekspor. Kami (orang tua saya dan sebagian masyarakat petani di desa saya) memang hanya para petani kecil. Namun setidaknya, konsep swasembada pangan di lingkungan masyarakat terkecil, yakni keluarga,- terpenuhi. Dari sawah, ladang, kebun, dan kolam kami sendiri. Saat itu kami tak perlu khawatir dengan beras plastik, sayuran dan buah suntikan, atau telor palsu. Karena semua kami tanam sendiri, tumbuh dan berkembang di lahan kami sendiri. Kami masyarakat desa, memenuhi produksi pangan kami sendiri. Satu hal yang sangat melegakan, kami bisa menjamin nilai gizi dari pangan yang kami konsumsi. Jadi aman, tidak perlu ada ketakutan akan bahan pangan palsu atau dengan nilai gizi yang rusak dan sejenisnya. Duuh bangganya. Ahh akankah ini hanya jadi cerita nostalgia?

Hmm lalu apakah hubungannya cerita nostalgia masa kecil itu dengan Hari Pangan Sedunia

Hari Pangan Sedunia

Peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober. Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) dimulai sejak Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan World Food Day melalui Resolusi PBB No. 1/1979 di Roma Italia. Tanggal 16 Oktober bertepatan dengan terbentuknya Food and Agriculture Organization (FAO)  sebagai Organisasi Pangan Dunia di bawah United Nations (PBB). Kemudian sejak tahun 1981 seluruh negara anggota FAO termasuk Indonesia memperingatinya sebagai  Hari Pangan Sedunia. Untuk tahun ini, Indonesia akan memperingatinya secara nasional di Palembang Sumatera Selatan. 

petani pejuang pangan dan gizi bangsaku

Penyelenggaraan HPS di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terutama  para pemangku kepentingan akan  pentingnya penyediaan pangan yang cukup dan bergizi khususnya bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya.  Kecukupan penyediaan pangan sangat terkait dengan konsep ketahanan pangan. Peringatan HPS dilatarbelakangi oleh adanya keinginan dan upaya pemerintah dalam mendorong dan mempertahankan swasembada pangan, kemandirian dan ketahanan pangan. Upaya ini dilakukan pemerintah melalui kebijakan – kebijakan  yang berpihak pada sektor pangan nasional.

Selain itu, stakeholder atau pemaku kepentingan lainnya termasuk masyarakat umum perlu ditingkatkan pemahaman dan kepeduliannya terhadap pangan yang cukup dan bergizi. Pemahaman dan kepedulian yang mulai memudar secara perlahan tapi pasti di kalangan masyarakat. Berubahnya cara pandang masyarakat (terutama masyarakat desa) akan peran penting mereka dalam menopang ketersediaan pangan yang cukup dan bergizi bagi lingkungan sekitar mereka. Seolah-olah penyediaan pangan adalah tugas pemerintah/pemerintah daerah. 

Peran Petani terhadap Ketahanan Pangan 

Padahal peran masyarakat pedesaan, para petani kecil dan petani penggarap sesungguhnya sangat signifikan bagi ketersediaan pangan dan keterpenuhinya gizi masyarakat. Meski bukan petani besar yang menghasilkan produk pangan yant bisa dijual, didistribusikan atau bahkan diekspor, keberadaan para petani kecil yang menopang pangan dan gizi keluarganya masing-masing merupakan penyangga pangan dan gizi bangsa secara keseluruhan. Bayangkan apa yang saya gambarkan sebagai kisah nostalgia masa lalu itu terus berlanjut hingga hari ini, mungkin kita tak perlu sibuk impor bahan pangan. Mendapati berbagai produk pangan yang kadang tidak layak dan aman dikonsumsi hanya karena kita tidak memproduksinya sendiri.

Benar adanya, banyak hal yang menjadi penyebab hilangnya kisah indah menjadi anak petani seperti yang saya miliki. Peningkatan jumlah penduduk, konversi lahan untuk pemukiman dan industri, perubahan iklim yang menjadi tantangan bagi pengembangan sektor pertanian, perikanan dan kelautan serta kehutanan, serta gencarnya gempuran produksi pangan dari luar yang dibungkus dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.

Makin banyaknya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan pangan yang cukup dan bergizi secara otomatis meningkat. Di sisi lain jumlah lahan tidak pernah bertambah, kebutuhan yang juga mendasar yakni papan atau rumah tinggal menjadi masalah berikutnya yang menyebabkan ratusan (mungkin ribuan) hektar lahan pangan dikonversi menjadi pemukiman dan kawasan industri.  Saya tidak hendak menyebutkan bergantinya berhektar-hektar lahan pangan di Jawa Barat (dan di wilayah lain) yang beralih bentuk dan fungsi. Badan Pusat Statistik mungkin memiliki data yang lengkap tentang hal tersebut. 

Tergerusnya lahan pangan dengan beragam latar belakang ekonomi dan pembangunan dipastikan menurunkan tingkat ketersediaan pangan produksi dalam negeri. Baiklah, bahkan kebijakan tingkat nasional seperti Undang-Undang Nomor 41 Tanun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan juga sudah banyak dikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan daerah sejenis belum mampu menjawab persoalan semakin menurunkan lahan pangan terutama pertanian. Percepatan industri yang menyulap sawah menjadi bangunan beton, apartemen, pusat perbelanjaan atau bahkan pemukiman sangat membuat kita terlambat tersadar bahwa akan ada konsekuensi dari perubahan tersebut.

Lalu akankah kita berputus asa, berdiam diri dan saling menggugat? Ah...sungguh kita bukan bangsa yang demikian. Era Globalisasi dan perdagangan bebas dimana produk pangan impor membanjiri pasar Indonesia  menjadi  ancaman ketahanan pangan nasional berbasis sumber daya lokal. Jika kita bahkan tidak mampu menahan terjangan ekonomi, pembangunan dan industri yang makin kuat menggempur ketahanan pangan dalam negeri. Apa yang bisa kita lakukan??

Petani: Ujung Tombak Ketahanan Pangan

Rasanya kita lupa bahwa ada sosok petani. Para petani kecil atau petani rumah tangga yang jumlahnya mungkin jauh lebih banyak dari petani pemilik lahan yang sangat besar (gurem). Merekalah salah satunya yang pada akhirnya harapan ketahanan pangan kita. Mereka yang menyuplai kebutuhan pangan keluarga dan lingkungannya. Iya, masyarakat petani seperti di lingkungan desa saya. Petani desa saya adalah satu contoh sample dari ribuan petani di nusantara. Dengan mengembalikan kekuatan dan keberdayaan mereka sebagai petani sesungguhnya masih ada harapan akan perbaikan pangan dan gizi bagi bangsa ini.

Mungkin kita harus kembali. kembali ke masa lalu, di mana para petani tidak kesulitan mendapatkan bibit, air, pupuk atau akses pengetahuan. Ahh bahkan lorong waktu tak mampu menjadi solusi. Kini setiap saya pulang kampung ke desa, di mana tinggal Mimi (Ibu) dan keluarga kakak-kakak, dan seorang adik saya. Rasa ingin kembali ke masa lalu makin membuncah. Hmm sekali lagi tidak semua hal berubah. Namun banyak yang berubah.

Beberapa karung gabah dan beras masih teronggok di pojok dapur rumah Mimi. "Tapi sekarang jauh berkurang..." Begitu keluh Mimi. Kian hari produksi padi kian menurun. Mimi bahkan "terpaksa" merelakan sebagian petak sawahnya dikonversi menjadi bangunan untuk rumah kakak saya, yang bahkan bagian belakangnya kemudian dialihfungsikan dari sawah menjadi kolam ikan. Sebagai informasi, bukan hanya Mimi  yang terpaksa mengonversi lahan sawahnya. Sudah banyak rumah tinggal yang menempati lahan yang dulu merupakan sawah tanaman padi. Salah siapa? tidak ada yang salah, faktor ekonomi dan kebutuhan akan rumah tinggal menjadi alasan utama.

Mimi masih punya sebagian petak sawah di lahan yang lain. Di musim kemarau seperti saat ini, dengan kekhawatiran kekurangan air yang akan mengganggu pertumbuhan padi dan produksi gabah. Sebagian petani, termasuk Mimi memanfaatkan tanah di lahan sawah untuk membuat bata merah. Secara ekonomis, ini jauh lebih menguntungkan daripada mengharapkan hasil produksi gabah di musim kemarau panjang seperti sekarang. Hmm tentu lagi-lagi kita tak bisa menyalahkan mereka.

petani pejuang pangan dan gizi bangsaku

Namun yang sungguh menjadi keprihatinan saya adalah tercemarnya air saluran irigasi yang mengairi sebagian besar sawah di desa saya dan sekitarnya oleh limbah pabrik batu alam di desa sebelah. Sampai hari ini tidak ada tindakan nyata baik rehabilitasi maupun evaluasi atas kondisi rusaknya lingkungan dan pertanian akibat limbah pabrik batu alam tesrebut. Sejak boomingnya industri batu alam, lalu air irigasi menjadi berwarna abu bercampur limbah batu, produksi gabah menurun tajam. Tanahpun menjadi lebih keras dan berkurang kesuburan karenanya. Mimi dan para petani hanya bisa mengeluh dan curhat sana sini tanpa solusi.

Kondisi ini adalah fakta nyata potret para petani. Secuplik kisah dari beragam dan banyaknya kisah para petani di seluruh nusantara. Petani pejuang pangan dan gizi bangsaku yang seharusnya mendapat perlindungan dan pemberdayaan sebagaimana mestinya agar mampu menopang tugasnya menjadi penyangga ketersediaan pangan nusantara. Sesungguhnya petani hidup dan mati bangsaku.

Begitu pentingnya kah para petani? Iya, petani tulang punggung pangan dan gizi bangsaku. Jika kita kembali ke pengertian petani sebagaimana definisi yang diberikan oleh dua undang-undang di bidang pertanian dan pangan. Maka sebagian pemilik sawah, kebun, kolam ikan dan ternak unggas di kampung saya adalah para petani yang telah terbukti pada masanya menopang suplai pangan dan gizi bagi keluarga dan lingkungan setempat. Potret petani yang rasanya kurang lebih sama di daerah manapun di nusantara. Mereka secara keseluruhan merupakan tulang punggung pangan dan gizi bangsa. Saat mereka kuat dan berdaya, mungkin kita tidak butuh suplai atau impor dari luar. Mungkin, mengapa tidak? toh kita pernah mengalami masa jaya saat kita bisa swasembada pangan bahkan mengekspor pangan kita ke negara lain.

Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Maka kiranya apa yang diusung dalam kebijakan nasional mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani tidak hanya menjadi norma-norma di atas kertas bernama undang-undang. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani harus wujud dalam bentuk nyata. Pemerintah, pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan seharusnya menyadari bahwa berbagai perosalan yang melatarbelakangi terancamnya ketahanan pangan nasional sebagaimana saya uraikan sebelumnya berdampak langsung pada kinerja dan penghidupan para petani kita.

Secara sosiologis disadari bahwa kecenderungan meningkatnya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani, mendorong adanya kebutuhan untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan terhadap petani lokal. Landasan pemikiran ini menjadi salah satu pertimbangan sosiologis lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. 

Undang-undang ini (dengan segala kekurangan dan kelebihannya) harus dapat dilaksanakan dan terimplementasi untuk dapat mewujudkan tidak hanya ketahanan pangan, namun juga kemandirin pangan dan kedaulatan pangan sebagaimana dicita-citakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

petani pejuang pangan dan gizi bangsaku

Secara normatif Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memberikan cakupan pengaturan tentang perlindungan petani sebagai segala upaya untuk membantu petani dalam menghadapi berbagai permasalahan:
a. kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi;
b. kepastian usaha;
c. risiko harga;
d. kegagalan panen;
e. praktik ekonomi biaya tinggi; dan 
f. perubahan iklim

Adapun pemberdayaan petani meliputi segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. penyuluhan dan pendampingan;
c. pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian;
d. konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian;
e. kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi; serta 
f. penguatan kelembagaan petani.

Semua stakeholder, pemerintah, pemerintah daerah dan aparat terkait, serta petani sendiri harus bisa bergandeng tangan mewujudkan upaya perlindungan dan pemberdayaan petani dimaksud agar tercapai tujuan yang dicita-citakan.

Adapun tujuan perlindungan dan pemberdayaan petani meliputi:

petani pejuang pangan dan gizi bangsaku

Secara normatif terlihat hubungan yang erat antara peran perlindungan dan pemberdayaan petani dengan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan yang dicita-citakan oleh bangsa ini.  Petani adalah garda depan dan ujung tombak ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Karenanya upaya nyata untuk melindungi dan memberdayakan mereka harus diwujudkan dalam tindak hanya bukan hanya di atas kertas semata. Semangat pak tani, bu tani. Bangsa ini membutuhkanmu... kami membutuhkanmu.


Referensi:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Undang-Undang Nomor 41 Tanun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
http://haripangansedunia.info/
http://www.pergizi.org/haripangan

Tulisan ini memenangi Juara Harapan

33 comments

  1. Aduuh lengkap banget tulisannya Mak Ophie. Yup betul..petani merupakan pahlawan tanpa tanda jasa juga lho. Mereka-mereka adalah ujung tombak ketersediaan pangan di Indonesia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. mudah2an gak bosenin bacanya mak...iya setuju tanpa mereka kita akan tergantung sm impor

      Delete
  2. Sipp super, maaak... Andai aku bisa menulis seperti ini :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih mak...waah andai aku juga bisa nulis novel kayak mak leyla hahaha

      Delete
  3. weleh weleh lengkap kap, andai banyak yang tau bahwa menjadi petani itu susah, mulai dari tanam hingga panen ada saja hambatannya, sedikit sekali yang mau mengucapkan terimakasih bapak ibu petani pangan yang saya makan hari ini adalah berkat jasa mu

    ReplyDelete
    Replies
    1. hiks...maklum anak petani..jadi terasa sekali...
      semoga petani makin baik nasibnya dan pertanian Indonesia bs bangkit

      Delete
  4. Waaahhh lengkap banget yaaa. Tapi aku malah pusing baca tulisan panjang2, hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahah sodorin obat sakit kepala, ini kalo dipotong nanggung mak. biasanya sih mmg tak sepanjang ini hihi

      Delete
  5. Sedikit sekali Blogger yang peduli pangan, keren Mba Ophie :)
    Semoga menang ya....ulasannya sangat akurat

    ReplyDelete
  6. tulisannya komplit banget. Tapi aku setuju, petani memang harus didukung oleh berbagai pihak karena negara kita adlaah negara agraris konon.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak Ade..pdhal salah urus terhadap petani dan pertanian bisa mengembalikan kejayaan Indonesia InsyaAllah....

      Delete
  7. Mak, kalo dulu jumlah petani banyak. Sekarang, di banyak tempat, anak2 muda lebih suka ke kota untuk menjadi penjaga toko atau cari kerjaan lain. Di kampung Mak Ophi, bagaimana? Apakah masih banyak yang tetap menjadi petani penggarap seperti ayah/ibu mereka?

    Btw, tulisannya oke banget, Moga menang yaa ^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama mak, ada kecenderungan jauh berkurang orang muda yang mau meneruskan warisan orang tuanya menjadi petani. Butuh insentif agar orang muda mau kembali ke pertanian.
      btw makasih mak, amiiin..semoga yaa

      Delete
  8. Wuuahhh ulasannya mantap,
    kepikiran ya mak pakai undang2, keren hehe
    bisa skalian pembaca ikutan belajar ")
    juara nh mak, goodluck yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maklum lah sekali-kali rasanya kepingin nih memunculkan identitas asli sebagai perancang undang-undang, jd legislative drafter yang ngeblog begitu hahaha. tp klo ngomongin undang-undang mulu apalagi di blog kan gak menarik mak. hahahha... bisa2 pada kabur yang baca.
      btw makasih mak

      Delete
  9. Yang pasal undang2 tulisan ophiziadahnya ganggu mak....xD
    *apus komen ini yaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaha...iya bingung mau naro di mana...ignora aja plis hahaha

      Delete
  10. Pangan sebenarnya problem utama ya mak apalagi sekarang penduduk makin banyak dan lahan makin sedikit :(
    Semoga pemerintah lebih concern ttg ini biar anak cucu kiita masih merasakan nikmatnya nasi dari beras padi disawah :")

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa...jadi gak perlu impor beras apalagi beras plastik....

      Delete
  11. Woww panjang banget, lengkap dan menarik disertai gambar. Semangat buat petani Indonesia!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cemunguth pak tani...bu taniiii, majulah pertanian Indonesia

      Delete
  12. Bagus tulisannya mak, lengkap kap. Dikampung halaman saya jg sawah banyak yg disulap jd pabrik dan perumahan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa, kalau satu dua petak sawah aja sudah bikin miris, apalagi klo sampai berhektar2 ya mak...duuuh sedih. tp apa daya...

      Delete
  13. Komplitnyaaaa :) good luck mak

    ReplyDelete
  14. wah..tulisannya lengkap Mak Ophi, pengalaman keluarga petani yaaaa, bakalan menang nih,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha iya keluarga petani mak...jd berasa banget. Btw makasih ... Amiin

      Delete
    2. Hahaha iya keluarga petani mak...jd berasa banget. Btw makasih ... Amiin

      Delete
  15. tulisannya komplit, mak. moga menang ya.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.