Tumbuh Menjadi Diri Sendiri: Mendampingi (Pra) Remaja Melewati Fase Insecure

"Bu aku kan paling pendek di kelas. Hmm ada yang lebih pendek sih. Tapi aku termasuk yang pendek. Temen-temenku udah tinggi-tinggi terus juga sudah puber kayaknya (maksudnya baligh). Aku sering disebut "botol yakult." Ini obrolan dengan bontot ganteng pra remaja saya. Terdengar enteng saat dia menceritakannya mungkin karena sudah sering mendapatkan "gurauan" sejenis. 

"Ibu emang hidung aku jelek yaa. Masak kata temenku hidungku lucu. Aku mau beli alat buat jepit hidungku biar gak bulet." ini rengekan anak gadis tengahku.

"Ibu kenapa sih jerawat aku keluar-keluar terus. Aku udah pakai ini itu, nanti membaik sebentar tapi trus tumbuh lagi. Orang-orang kok mukanya mulus-mulus gak ada yang berjewarat kayak aku." Kalau ini kegelisahan anak gadis sulungku.

Kalimat-kalimat tersebut terdengar sederhana, tetapi sebagai seorang ibu, saya tahu ada perasaan tidak nyaman di balik ucapan mereka. Rasa insecure yang mulai tumbuh seiring mereka memasuki usia (pra) remaja. Ada pikiran membanding-bandingkan yang diam-diam muncul di kepala mereka. Ada rasa tidak cukup yang mulai menyergap, meskipun kadang dari luar mereka tampak percaya diri seperti biasanya. 

Sebagian besar dari kita sebagai orang tua kemudian menyikapinya dengan enteng.

"Ah nanti juga kamu tinggi, makanya makan yang banyak, minum susu, olahraga bla bla bla..."

"Ah enggaklah hidung kamu bagus kok, Allah sudah kasih semua manusia bentuk terbaiknya. Kamu harus bersyukur, bla bla bla."

"Wajar nak, namanya juga remaja. Memang masanya berjerawat. Makanya kamu makan yang sehat, rajin bersihkan muka bla bla bla."

Jangan ya Moms yaa. Kita kadang menggampangkan dan cenderung malah menghakimi alih-alih menenangkan dan memberikan mereka pemahaman yang proporsional. Kalau kata gen Alpha, Ibu mah Yepping. Eh tulisannya gimana sih? Yapping? atau Gimana?

Baca: Tantangan Mendampingi Pre Teen

Well, faktanya, insecure bagi pra remaja dan remaja itu nyata Moms.

Era Gen Z dan Gen Alpha tumbuh dengan layar digital, algoritma yang membandingkan, dan standar ideal yang bergerak cepat. Tidak heran jika banyak dari mereka merasa belum cukup. Belum cukup cantik, belum cukup tampan, belum cukup tinggi, belum cukup pintar, belum cukup populer. Karena tolok ukur mereka adalah apa yang mereka temukan di layar media sosial. Sesuatu yang belum tentu demikian atau benar adanya sesuai fakta.

Sebagi Ibu dari 3 remaja (Gen Z dan Gen Alpha), saya menyadari satu hal. Remaja zaman sekarang hidup dengan tekanan yang jauh berbeda dari generasi kita dulu. Mereka tumbuh di era digital yang penuh standar visual, validasi instan, dan perbandingan sosial yang muncul bahkan sebelum sepenuhnya kita mengumpulkan nyawa saat bangun tidur. Duh! mereka bangun tidur dan langsung membuka gadget.

Jika dulu kita membandingkan nilai akademik atau sepatu sekolah, mereka membandingkan likes, followers, bentuk tubuh, kulit wajah, jerawat, tinggi badan, bahkan suara ketika mereka merekam video. Yang membuatnya makin kompleks adalah semuanya terjadi di ruang publik.

Mengapa Remaja Sekarang Lebih Mudah Insecure?

Rasa insecure sebenarnya adalah bagian normal dari perkembangan identitas. Kalau harus diakui bahwa di setiap tahapan usia dan lingkungan pergaulan, rasa insecure kadang muncul dan menghantam kita sebagai orang dewasa bukan? Namun memang pada generasi Gen Z dan Gen Alpha, ada beberapa faktor yang memperkuatnya.

Baca: Terintimidasi Sendiri & How To Deal With?

Maraknya Media Sosial dan Budaya Perbandingan

Dulu kita hanya melihat wajah orang di cermin atau album foto keluarga. Sekarang anak-anak bisa melihat ribuan wajah ideal dalam satu kali scroll. Mereka melihat highlight hidup orang lain yang bahkan tidak mereka kenal.

Standar “cantik” atau “keren” seolah ditentukan filter, retouching digital, dan sudut kamera. Fitur filter, AI beauty, dan editing membuat standar kecantikan makin tidak realistis. Sementara mereka masih dalam fase pertumbuhan hormon dan perubahan fisik yang tidak stabil.

Tidak heran jika komentar sederhana seperti “kok gemukan ya?” atau "kamu kenapa jerawatnya kok ga sembuh-sembuh?" bisa membekas lebih kuat dari pujian apa pun.

Perubahan Fisik yang Belum Stabil

Tinggi badan, hormon, suara yang berubah, jerawat, berat badan. Kondisi ini tentu sebetulnya hal yang wajar di usia mereka.  Jerawat yang tiba-tiba muncul, suara yang berubah, tinggi badan yang tidak seragam, atau berat tubuh yang naik turun. Semuanya bisa terasa seperti “masalah besar”. Padahal pubertas dan perubahan fisik adalah dua kata yang bersisian bak mata uang. Jadi ya memang sedang "masa"nya aja gak sih? Bagi kita orang dewasa, ini hanya fase. Bagi mereka, ini bisa terasa seperti identitas.

Ekspektasi dari Lingkungan

Sekolah, keluarga, bahkan ucapan yang tanpa sadar menekan: “Kok kamu belum setinggi si X? “Temanmu ranking berapa?”. “Kamu kok chubby banget ya kalau di foto!”. Hmm seolah-olah setiap remaja itu harus tinggi, harus rangking 5 besar, harus tirus dan mewing. Apalah itu. Parahnya mereka mendapatkan ekspektasi ini bahkan dari orang yang tidak mereka kenal jika mereka aktif di sosial media. Hmmm berat ya nak!

Lingkungan Pertemanan

Dengan sendirinya anak-anak akan membentuk lingkungan pertemanan secara hukum alam. Kadang kita tidak bisa menentukan mereka harus bergaul dengan siapa saja di sekolah. Tentu terasa sangat "sok ngatur-ngatur", "gak banget deh Ibu."Kan aku yang menjalani hari-hari dengan temanku.

Kita rasanya kurang bijak untuk secara tegas melarangnya berteman dengan X atau Y dan seterusnya. Saya sendiri lebih memilih berbicara dari hati dengan mereka dan menyampaikan analogi bahwa berteman dengan tukang parfum bikin wangi yang sebaliknya. Tentu dengan memberikan contoh atau fakta konkretnya. 

Si bungsu misalnya, di kelas 7 lalu, Ia dekat dengan murid yang terkenal "bangor" (Hmm kalau orang sunda pasti paham ya, tapi istilah ini digunakan oleh si bontot untuk teman-temannya yang memang agak "bangor" tadi itu hahaha), istilah yang dia pilih lumayan soft sih menurut saya. Saya mulai merasa kurang sreg saat temannya tersebut  mulai terasa mengganggu ritme si bungsu di rumah. Ngajak mabar atau telpon tak tahu waktu.  

Di sekolah bahkan Ia sering ikut kena semprot gurunya dan mendapatkan labeling yang sama hanya karena Ia berteman dekat dengan anak tersebut. Saya mencoba menasehatinya untuk sekedar menjaga jarak. Namun Ia merasa tidak punya alasan untuk menjauhi temannya. "Ya dia emang bangor gitu aja bu, tapi sebenarnya dia baik dan asik kok".

"Bukan menjauhi juga sih dek, tapi sebaiknya adek tetap bisa punya sikap ya." 

"Ya aku juga gak ikut-ikutan kok bu, kalau dia ngajak yang enggak-enggak" "Waktu dia bolos dari kelas dan jajan di kantin luar itu aku gak ikut bu, aku gak pernah ikut, Gurunya aja yang suka sama-samain." 

"Padahal aku suka dibilang gak asik sama mereka kalau gak mau diajak bolos shalat berjamaah atau telat masuk kelas."  

"Naah itu memang resikonya, adek inget kan yang selalu kita itu akan sangat dipengaruhi oleh siapa teman kita". 

Identitas dan Pencarian Jati Diri

Remaja sedang membentuk jawaban dari pertanyaan emosional besar: “Siapa aku?” “Apakah aku cukup? “Apakah aku diterima?” Insecure menjadi bagian dari proses itu pencarian jati diri. Remaja masih mencari siapa dirinya. Mereka mudah goyah ketika tidak sesuai standar kelompoknya. Lingkaran pertemanan terdekat mereka sangat punya pengaruh besar terhadap apa yang ingin mereka bentuk sebagai "jati diri" mereka. Inilah mengapa saat penting menjaga mereka dalam lingkaran pertemanan yang sehat dan baik. 

Bahkan saat mereka bergabung alam kelompok yang tampak penuh prestasi, baca "ambis". Kita tetap perlu menjaga mereka tetap bisa memandang diri sebagai individu yang "khas" dan "personal". Tidak harus selalu terlihat sama dan seragam dengan kelompoknya. 

Anak-anak cenderung membentuk harga diri dari bagaimana kelompok sosial menerima mereka. Jika di kelompoknya semua sudah tinggi, sudah glowing, punya skin care routine, atau punya prestasi tertentu, anak yang merasa “berbeda” bisa merasa tertinggal. Kita perlu menguatkannya untuk mengimbangi hal tersebut.

Hal-hal yang Paling Sering Membuat Insecure 

Selain dari apa yang saya alami dalam membersamai tiga putra putri yang telah memasuki masa pra remaja dan remaja, saya melihat pada banyak kasus baik dari lingkungan terdekat maupun yang muncul di ranah digital, perasaan insecure remaja dan pra remaja masih banyak didominasi oleh persepsi terkait kesempurnaan fisik.

  • Bentuk tubuh  (berat badan: kurus/gemuk, tinggi badan: tinggi/pendek).
  • Bentuk wajah: hidung, gigi,  bibir.
  • Jerawat, kondisi kulit, dan warna kulit.

Namun demikian, tidak sedikit rasa insecure mereka juga muncul dalam hal non fisik. Kemampuan akademik versus  teman-temanya juga menjadi hal yang rentan menimbulkan rasa insecure. Selain peringkat kelas, skill dan prestasi di luar akademik sering menjadi tolok ukur mereka. 

Well, sebagai orang tua tentu kita harus bisa menjaga pemahaman mereka bahwa setiap anak itu punya kecerdasan masing-masing. Ada banyak ragam kecerdasan (multiple intelligence) dari setiap anak.  Semua sama pentingnya, dan memiliki porsi masing-masing dalam proses tumbuh kembang anak-anak.

Multiple intelligence atau kecerdasan majemuk mencakup kecerdasan bahasa (language intelligence ), fisik/kinestetik (physical intelligence), logik matematik (logic mathematic intelligence), keceradasan alamiah (nature intelligence), visual spasial (visual spatial intelligence), musik (music intelligence), kecerdasan emosi atau intrapersonal (intrapersonal intelligence), dan hubungan antar personal atau interpersonal (interpersonal intelligence).

Baca: Peran Orang Tua Memaksimalkan Kecerdasan Majemuk Anak

Mungkin remaja kita tidak juara kelas dari sisi akademik, namun Ia anak yang ramah, bisa mengayomi teman-temannya dan mudah bergaul. Itu sudah kepintaran tersendiri juga.  Well, jangan sampai rasa rendah diri dan insecure justru datang dari penyikapan kita yang kurang tepat pada mereka ya Moms.

Yang juga terasa unik, saat ini topik yang juga jadi bahan perbincangan di kalangan anak-anak sampai pada jumlah followers, likes, atau posisi sosial di grup. Beberapa kali saya mendengar mereka bertiga di rumah membandingkan jumlah likes di TikTok antar  mereka dan teman-temannnya. Zaman kita remaja, yang dibandingkan itu rangking kelas. Sekarang? Algoritma. Jumlah followers atau engagement media sosial ternyata menjadi salah satu isu, bagi mereka yang aktif di sosial media. Hmm Mommies and daddies wajib paham literasi digital juga nih supaya bisa bantu mereka di persoalan ini.

Yang perlu kita pahami juga adalah terkadang insecure muncul bukan karena anak merasa tidak percaya diri, tetapi karena ada komentar kecil yang tersimpan dalam memori. Kalimat seperti: “Duh makin item ya habis ekskul bola?” “Kenapa kamu nggak kayak kakak kelas itu, tinggi banget?” “Kamu tuh pendiam banget, nggak seru.” Komentar yang mungkin kita anggap bercanda, bisa tertanam sebagai keyakinan negatif tentang diri mereka. 



Bagaimana Kita Mendampingi Mereka?

Saat kita melihat gejala anak remaja atau pra remaja kita mengalami insecure kita bisa segera melakukan pendampingan pada mereka. Terlebih jika kondisi ini mulai menganggu mereka. Beberapa tanda non-verbal yang bisa kita cermati sebagai tanda kondisi insecure misalnya mulai jarang foto atau menolak kamera, menolak ikut kegiatan sosial, mudah marah, menarik diri, menutupi bagian tubuh tertentu sering membandingkan diri. Jika tanda ini muncul terus-menerus, mungkin kita perlu lebih mendekat, bukan mengoreksi.

Dengarkan, Jangan Langsung Memberi Solusi

Ketika anak bilang: “Aku jelek.” “Aku pendek.” “Kulitku hitam.” Jangan buru-buru menjawab:  “Ah kamu cantik kok, lebay.”  “Ya udah olahraga, biar tinggi.” Karena respon tersebut meminimalkan perasaan mereka. Coba mulai dengan: “Kenapa kamu merasa begitu ?” “Ibu dengerin ya, coba ceritain gimana.” “Itu pasti nggak nyaman ya rasanya.”

Kadang mereka cuma ingin didengar, bukan diperbaiki. Jadi setelah mendengarknya bercerita, cukup sampaikan “Ibu ngerti kok kamu merasa nggak nyaman. Itu wajar banget. Kamu boleh cerita kapan pun.” Kadang mereka merasa lebih lega ketika semua rasa itu sudah ditumpahkan. Jangan sampai respon kita yang keliru justru membuat mereka enggan kembali mendatangi kita. Alih-alih bikin blunder, tahan sebentar biarkan mereka menyelesaikan curhat mereka. Kita jadi pendengar yang baik dulu ya Moms.

Tapi kalau ujungnya ga ada solusi buat apa? Nah kalau memang masalahnya bisa diselesaikan dengan melakukan suatu solusi ya tidak mengapa juga sih, kita bisa sarankan ke mereka, tentu setelah mereka selesai dengan curahan rasanya. Tapi hati-hati juga Moms karena kadang memang bukan itu solusi dari rasa insecure mereka. 

Jadi pilih-pilah juga jika pada akhirnya kita menawarkan solusi. Misalnya? Ok untuk masalah jerawat kamu yuk kita bisa konsultasikan ke dokter kulit siapa tahu bisa ada solusi untuk mengatasinya. Dokter tentu akan memberikan banyak pertimbangan dan saran ketimbang hanya memberikan obat atau rujukan skincare misalnya. Pun tidak selalu pada akhirnya itu benar-benar menyelesaikan jerawat mereka 100% kan? 

Validasi Perasaan Mereka

Setelah mendengarkan, penting untuk merespon mereka dengan tepat. Yang paling strategis tentu adalah memvalidasi perasaan mereka. Jangan sampai kita terlihat "mengecilkan" apa yang mereka rasa sebagai masalah serius dan berat. Kita harus mencoba memakai sepatu mereka untuk mendapatkan perspektif mereka terhadap apa yang mereka rasakan sekaligus membangun empati.

Validasi tidak sama dengan menyetujui, tetapi mengakui bahwa perasaan mereka valid. “Wajar kok kamu merasa begitu. Banyak remaja mengalami hal yang sama.” Dengan kalimat seperti ini, mereka tahu bahwa "aku tidak aneh: aku manusia. Ada yang mengalami dan merasakan hal yang sama." Hindari  “Ah itu cuma pikiran kamu aja.” Ganti dengan: ✨ “Banyak anak seusiamu merasa hal yang sama. Kamu nggak sendiri.”

Bantu Mereka Fokus pada Kemampuan, Bukan Penampilan

Saat mereka fokus pada "penampilan" yang membuat mereka down, maka imbangi denagan pemahaman bahwa membangun "kemampuan" jauh lebih penting dan berharga. Terlebih penampilan mereka masih sangat mungkin mengalami perubahan.Iya, kondisi fisik mereka masih dalam masa transisi. Mindset bahwa tubuh atau fisik bukan satu-satunya sumber nilai diri menjadi hal yang harus tertanam dengan baik dalam pikiran anak-anak kita.

Menjadi bermanfaat bagi sesama jauh lebih keren daripada penampilan fisik yang standarnya seharusnya tidak disamakan dan memang tidak akan pernah sama, sangat subjektif.  Menjadi rekan yang baik, sekedar selalu hadir dan memberikan semangat dan support pada rekan sesama mereka sungguh lebih cool, yes! Kemampuan atau kecerdasan yang demikian majemuk sangat mungkin untuk terus digali dan dikembangkan.

Batasi Eksposur Media Sosial dengan Bijak

Bukan melarang, tapi mendampingi dan memberi literasi digital. Melarang sama sekali agak sulit gak sih hari-hari ini. Apalagi mereka sudah pra remaja dan remaja, mostly sudah pegang gadget sendiri. Hmm bermula dari Covid 19 sehingga saya yang semula cukup ketat dalam pemakaian gadget buat anak, akhirnya karena tuntutan keadaan membolehkan mereka memiliki gadget mereka sendiri jauh sebelum mereka punya KTP. Ya gimana, saat itu tugas-tugas sekolah harus di-posting di sosial media mereka lho. Komunikasi juga via Whatsapp dengan guru-gurunya. Oke, skip curhatnya!

Baca: Kapan Anak-anak Boleh Memiliki Gadget?

Sekarang tinggal bagaimana mengedukasi mereka untuk cerdas dalam menggunakan media sosial. Susah-susah gampang sih. Tapi sejak awal selalu pastikan mereka paham, beberapa prinsip dasar dan menggunakan media sosial. Termasuk menjelaskan bahwa apa yang tampak di sosial media, belum tentu sama dengan yang ada di dunia nyata. Mereka harus tetap bisa membedakan antara dunia nyata dan dunia maya.

Anak-anak harus dipastikan memiliki literasi digital dengan mendampingi mereka memahami bahwa apa yang mereka lihat di sosial media tidak selalu real. Ajak mereka lihat before-after filter, editing reality vs social media, atau konten positif dari kreator body neutrality. Inti dari body neutrality adalah untuk menerima dan menghargai tubuh atas apa yang bisa dilakukannya, bukan hanya dari segi penampilan fisik, dan membebaskan diri dari penilaian ketat terhadap standar kecantikan.

Well, di luar kesehatan mental anak-anak, kita semua sepakat ada banyak manfaat memberi jarak dengan bijak dari sosial media kan? manfaat yang justru akan membantu mereka bergerak dari rasa insecure dan menemukan sesuatu yang lebih sehat dan lebih baik untuk kehidupan mereka sehari-hari hingga ke depannya.
 

Beri Contoh Self-Love 

Sebagai orang tua, kita tidak bisa menghapus rasa insecure anak — karena insecure adalah bagian alami dari tumbuh dewasa. Yang bisa kita lakukan adalah menjadi tempat aman bagi mereka. Jika orang tua insecure dan sering mengkritik diri sendiri, anak akan belajar hal yang sama. Ya kita tunjukkan bahwa dalam ketidaksempurnaan diri kita, kita tetap worth to value. Kita tuh berharga lho bahkan ketika menjadi diri sendiri. Pun nilai diri kita gak semata-mata karena tampilan fisik. Kita berharga dengan apa adanya kita.

Bangun Self-Worth, Bukan Hanya Self-Confidence pada anak.  Self-confidence berbasis kemampuan atau penampilan. Self-worth berbasis nilai diri yang tidak tergantung pencapaian. Kita perlu contohkan bahwa “Yang membuatmu berharga bukan tubuhmu, bukan nilai rapormu, bukan prestasimu, tapi karena kamu adalah kamu.”

Beri Support dan Pujian yang Seimbang

Kurangi pujian fisik seperti “Kamu cantik banget hari ini!” dan ganti dengan “Ibu bangga kamu berusaha.” “Nah Ibu suka caramu memperlakukan orang lain.” atau “Kamu thoughtful dan perhatian,  itu kualitas penting.” Support dan pujian kitapun harus bisa lebih fokus pada nilai-nilai yang membangun karakter mereka. Mengapa? karena karakter bertahan lebih lama dibanding penampilan.

Menjadi remaja di era digital bukan hal mudah. Dunia mereka bergerak cepat, standar berubah tiap detik, dan identitas mereka masih dalam proses dibentuk. Mereka tumbuh di tengah tekanan sosial yang sering tak kasat mata. Sebagai orang tua, tugas kita bukan menghilangkan semua rasa insecure mereka. Tugas kita adalah menjadi tempat mereka kembali ketika dunia terasa terlalu bising. Menjadi tempat di mana mereka merasa aman, dicintai, dan dihargai meski dunia memberi standar yang tidak selalu ramah.

Jika kamu remaja dan sedang membaca ini, aku ingin kamu tahu:

🧡 Kamu cukup.

🧡 Kamu layak bahagia.

🧡 Kamu berharga — bahkan ketika tidak sempurna.

Karena sesungguhnya, tidak ada yang benar-benar sempurna. Kita semua hanya sedang belajar menjadi diri sendiri. Perlahan, hari demi hari. Menerima dan mensyukuri.




No comments

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.