Kapan Anak-anak Bisa Memiliki Gadget?



Hi Sahabat Mom of Trio, sudah lama ya kita gak diskusi untuk tema parenting. Ngobrolin soal anak, gadget, dan media sosial kuy! Bahasan ini selalu hangat apalagi belakang nih. Masih terkaget-kaget kah terkait kasus grooming yang memakan korban beberapa anak remaja beberapa waktu lalu?

Well jadi semacam evaluasi yang sangat menampar buat para orang tua untuk kembali berpikir, apakah anak-anak kita sudah layak mendapatkan fasilitas gadgetnya sendiri? sudah diberi akses penuh terhadap gadget? dengan kata lain sudah memiliki gadget mereka sendiri?

Udah lama pingin nulis atau ngevlog tentang isu ini. Kuy ah... jangan banyak alesan.

Jadi berdasarkan apa yang saya alami dan tentu saja saya juga banyak belajar, mengamati, dan melihat sendiri bagaimana pola parenting banyak orang tua terkait dengan tema kepemilikan gadget bagi anak. Mulai dari mereka yang tidak memberikan anak gadget sama sekali hingga yang dengan bebasnya memberikan anak gadget tanpa melihat usia anak.

Baca Juga: Sahabat anak sholeh belajar sambil bermain

Saya dan suami sendiri bagaimana? Kami mungkin ada di kelompok yang agak kaku. Buat kami anak-anak tidak perlu memiliki gadget mereka sendiri sampai mereka siap dan pantas memilikinya. Naah kapan anak-anak dianggap sudah siap dan pantas memilikinya? Mungkin ini yang kembali bisa kita temukan pendapat yang beragam.

Kami (saya dan suami) sepakat bahwa sebagaimana pencipta gadget terutama smartphone itu sendiri menyatakan bahwa barang ini diproduksi untuk usia 13 tahun ke atas, maka memang paling pas anak-anak di usia 13 tahun ke ataslah yang bisa memilikinya. Namun bagi kami tetap dengan rambu-rambu tertentu.

Lalu bagaimana dalam kenyataannya?

Sebelum mencapai usia tersebut apakah anak kami sama sekali tidak terpapar gadget atau smartphone? Tidak juga sih. Kenapa? karena mereka bisa menggunakan gadget dalam hal ini smartphone milik kami (saya dan ayahnya) saat mereka bersama kami. Jadi di smartphone kami ada games, ada akun IG mereka (Ka Al dan Ka Za), dan wa grup teman-teman mereka. Nah mereka menggunakannya bersama kami.

Saat anak-anak protes karena sepupunya, temannya, bahkan keponakannya (well, iyes cucu saya dari keponakan) sudah memiliki gadget di usia sepantaran mereka. Kami tidak bergeming. "Kalian belum pantas, belum siap, dan belum paham dengan gadget", menggunakan gadget pastinya dengan mudah mereka bisa beradaptasi, anak zaman now gitu lhoo. Tapi jangan sampai karena mereka belum "siap" lalu mereka yang dikuasai oleh gadget, dan bukan sebaliknya.

Buat saya selain soal konten, maka pertimbangan kapan memberikan gadget pada anak adalah kekhawatiran pada bagaimana kemampuan mereka untuk mengelola waktu saat bermain gadget. Saya khawatir mereka kecanduan dan sulit melepaskan kondisi tersebut kelak.  Jadi yang perlu diwaspadai selain mengawasi dan mengontrol konten yang mereka dapatkan dari gadget dan internet, adalah efek kecanduan bermain gadget.

Nah, meski kemudian kami sepakat bahwa hanya pada usia 13 tahun anak-anak sudah bisa memiliki gadget sendiri, namun ternyata dalam praktiknya kami memutuskan untuk akhirnya memberikannya kepada Ka Alinga tahun ini. Usianya memang belum genap 12 tahun. Bulan September 2019 ini, ia baru memasuki usia 12 tahun. Kenapa akhirnya kami berikan keluasan waktu dan memutuskan untuk memberikannya gadget?

Ka Alinga sudah merengek minta hp sejak kelas 5, -sebelumnya pun sudah- tapi selalu kami jelaskan belum waktunya. Sampai tiba waktunya Ia boleh menggunakan hp kami orang tuanya. Naah saat akhirnya Ia usai menjalani persiapan UN/USBN dan US, kemudian lanjut dengan tes masuk sekolah ke tahapan berikutnya dan alhamdulillah lulus, barulah saya terpikir bahwa dia memang sudah butuh menggunakan dan memiliki gadget sendiri.

Baca juga: The Growing Me, Menyiapkan Si Pra Remaja Memasuki Masa Pubertas

Sekolah baru, kawan baru, suasana baru. Tampaknya Ia juga butuh alat komunikasi sendiri untuk bergaul dan membaur dengan teman-temannya yang saya rasa semuanya sudah memiliki gadget sendiri. Selain memang tampak intensitas komunikasi dengan teman-temannya ternyata jauh meningkat dari zaman SD dulu.

Saya juga berpikir bahwa dia juga kelak harus lebih mandiri, untuk pergi dan pulang sekolah tidak harus diantar jemput lagi. Bisa menggunakan ojek online atau bahkan angkot. Naah untuk memesan ojek online tentu butuh gadget, dan di sana juga sudah ada fitur keamanan yang bisa dia share pada kami secara langsung via wa. Demikian juga saat naik angkot, tentu kami butuh untuk memantaunya. Sekalipun memang di sekolah Kaka, dilarang menggunakan hp sepanjang jam pelajaran.

Selain itu, sekolah di Sekolah Negeri tuh ternyata banyak banget PR. hampir setiap hari dan hampir semua mata pelajaran ada PR. Kami gak bisa selalu pulang on-time dan akhirnya kakak sering rusuh karena butuh gadget untuk searching atau googling terkait dengan PR-PRnya.

Ya sudah bismillah, akhirnya kami membelikan Ka Alinga gadget untuk dimiliki sendiri. Nah hanya saja sebagai konsekuensi dari memiliki gadget sendiri itu maka sebetulnya tugas kita sebagai orang tua menjadi lebih berat. Kenapa? karena pendampingan dan pengawasan dalam menggunakan gadget seharusnya menjadi lebih intens bukan?

Salah satu cara yang so far kami lakukan juga di aspek lain adalah dengan memberlakukan "RULES" yang kita buat bersama, kita sepakati bersama, ditandatangani bersama, dan pastinya ditegakkan bersama.

Jadi Kaka yang menuliskan sendiri rules tersebut di atas kertas, sambil mengambil kesepakatan bersama dengan kami, lalu ditandatangani. Well, penegakannya gimana? jadi kalau Kakak melanggar rules tersebut, ada sanksinya pastinya. Yakni penyitaan hp tersebut. Well, bisa disita satu hari, dua hari, atau beberapa hari bahkan mungkin selamanya tergantung tingkat pelanggaran. Jiyaaah efek Ibu bapaknya tukang merangcang undang-undang nih.

Baca Juga: Belajar Demokrasi dari Rumah


Naah apa saja rulesnya?


  1. Kakak harus menjaga dan merawat gadgetnya. Misalnya tahu kapan harus di-cahrge, kapan dicopot saat di-charge, jangan sampai kotor, dan lain-lain.
  2. No secret! jadi Ibu dan Ayah harus bisa mengakses gadget kakak anytime Ibu dan ayah mau. Kakak boleh pakai password tapi Ayah dan Ibu tahu. intinya No secret! Meskipun begitu sewajarnya kitapun menghargai privacy Kakak dan tidak terlalu nampak kepo :D
  3. Saat menginstall aplikasi tertentu baik games atau yang lainnya harus sepengetahuan dan sepersetujuan Ayah atau Ibu. 
  4. Tidak boleh lupa waktu, harus tahu waktu. Nah ini sih rule buat kita semua ya. Dan karena sangat umum jadi sangat mudah dilanggar sehingga untuk rule yang ini saya agak cerewet dan sering memperingatkan Kakak soal ini.
  5. No Hp saat makan. Masih nyambung dengan rule sebelumnya nih. Kakak tuh susah makannya. Kalau lagi makan, main hp, bisa tambah susah makannya. jadi tidak boleh main hp saat sedang makan.
  6. No hp after 21.00 pm. Untuk penggunaan hp harus sudah di stop pada pukul 21.00 wib. Well, kalau keasyikan main hp sampai malam lalu mengganggu waktu istirahat dan tidur, bisa kacau balau aktivitas esok paginya. Jadi jangan sampai telat tidur karena keasyikan main hp. Well memang faktanya kadang ada pengecualian tertentu yang tentu saja masih bisa dimaklumi dan ditoleransi.
  7. Harus mau berbagi dengan adik-adik. Karena adik-adiknya belum memiliki hp sendiri, Kakak harus mau berbagi saat adik-adiknya meminjam hp tersebut. Yaah palingana deknya butuh buat komunikasi dengan kami atau dengan temannya yang sifatnya penting saat kami tidak ada. Bisa jadi juga sekedar mau main games atau main instagram.
  8. Kesepakatan maksimal pemakaian kuota. Naah ini juga salah satu cara kami membatasi penggunaan gadget yakni dengan menyepakati maksimal pemakaian kuota yang kami berikan pada Kakak. Jangan sampai pemakaian kuota kakak melebihi kami orang tuanya yang jauh lebih banyak loading kebutuhan penggunaan internetnya.


Kira-kita itu sih beberapa rule yang kami sepakati. So far berjalan cukup efektif. sambil juga memberi contoh pada adik-adiknya. Sahabat Mom of Trio ada yang mau di sharing soal ini? Yuuk comment di bawah.

Oh iya terkait dengan penggunaan media sosial, sejujurnya awalnya kami malah lebih ketat soal ini. Hmm tapi apa boleh buat karena lingkungan pertemanan anak-anak sudah "main" social media, akhirnya anak-anak kami izinkan memiliki aku media sosial sendiri. Dalam hal ini instagram, well karena dari sisi "keamanan" dibandingkan media sosial yang lain so far masih bisa kami pantau lebih mudah untuk instagram ini.

Mereka boleh memiliki akun instagram dengan catatan di private. Jadi hanya orang-orang yang kita kenal dan tahu saja yang berada di lingkaran pertemanan mereka di IG. Selain itu mereka tahu batasan photo apa yang bisa diposting dan mana yang tidak. Misalnya tidak boleh terlalu mengumbar profile pribadi, share location secara online dan on time dan sejenisnya.

Pada intinya kami sebagai orang tua tetap ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Dalam hal kami belum bisa sepenuhnya menanggung apa yang menjadi tanggung jawab dari pilihan yang kami berikan maka batasan atau rules diharapkan menjadi salah satu cara meminimalisir hal-hal negatif yang mungkin timbul. Allahu a'lam.

Oh iya saya juga buat vlognya lho tentang issue ini, cuss ke youtube channelku yaa. Jangan lupa like, share, dan subscribe yaaks hehehe...




No comments

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.