Hebatnya Anak dari Ibu Bekerja

Salam sehat Sahabat Mom of Trio, semoga bahagia selalu melingkupi kita dalam kondisi apapun. Amiin. Salah satu concern dari dilema menjadi Ibu Bekerja adalah soal anak. Ketika waktu yang harusnya kita habiskan bersama dengan anak-anak terpaksa harus berkurang karena kita harus melakukan kewajiban dan rutinitas kerja terutama jika kita bekerja di luar rumah. 

Dulu (eh bahkan sampai sekrang masih suka juga sih) sering banget sampai pada titik sangat galau. Sungguh dilematis menjadi Ibu bekerja. Wajib kuat mental dan fisik. Apalagi kalau di rumah tidak ada supporting system yang memadai. *Baca: tidak punya ART yang stay di rumah, tidak ada family atau orang tua yang bisa dititipi anak-anak.

Dilema yang lebih mengguncang lagi saat harus dinas keluar kota. Huhuhu yang kadang jadwalnya suka gak sopan karena bentrok dengan jadwal anak-anak ujian lah, ulangan la, tugas project lah... Oh Allah, bantulah hambaMu. Ini beneran sih suka pusing kalau udah begini. Nah penting banget makanya komunikasi dan koordinasi dengan pasangan. Apalagi kalau suami juga bekerja di sektor yang memiliki opportunity tinggi untuk tour of duty. Wajib hukumnya koordinasi.

Baca juga: Di balik Dilema Dinas Keluar Kota

Demi memikirkan kebutuhan dan pendampingan anak-anak inilah, saya dan suami sebisa mungkin tidak pergi dinas dalam waktu yang bersamaan. Jika memungkinkan bahwa saya tidak pergi. Suami yang pergi, saya mengalah tidak perlu memaksa pergi di waktu yang bersamaan. Namun memang tidak semudah itu Ferguso! Karena saya bukan bekerja di kantor bapak saya apalagi kantor saya sendiri. Jadi ya gak bisa sesuka hati menentukan jadwal dinas.

Sepanjang masih bisa diatur karena memang perencanaan di tangan kami, kami usahakan menghindari bentrok dinas bersamaan. Namun jika sudah di luar kemampuan kami. Tidak dapat dihindari, saya terbang kemana, Ayahnya anak-anak terbang kemana.

Alhamdulillah dulu saat anak-anak masih kecil, ada almarhumah Mbah Uti - Ibu Mertua saya yang siap siaga menemani cucu-cucunya saat saya harus pergi dinas. Sejak kepergian Mbah Uti beberapa tahun lalu, manajemen waktu dan distribusi tugas di antara saya dan suami memang mengalami perubahan cukup signifikan. 

Saya yang sering kelelahan sendiri dan berujung burn out gak karu-karuan, mulai menuntut lebih partisipasi suami dalam semua aspek urusan rumah dan anak-anak. Alhamdulillah bersama waktu kami banyak belajar menghadapi situasi ini.

Yang juga sangat terasa adalah bagaimana kemudian anak-anak juga mulai belajar, beradaptasi, dan bisa mengambil hikmah dari situasi ini. Iya sih, mereka masih suka ngambek dan mengeluh saat di momen-momen yang menurut mereka krusial, kami secara fisik tidak ada di dekat mereka. 

Bahkan hingga hari-hari ini. "Ibu kenapa sih pergi? kan aku lagi ujian minggu depan?". "Aku gak mau Ibu pergi, Ibu gak boleh pergi". "Ibu kok pergi sih, aku mau ada Ibu". Kalimat-kalimat ini masih keluar dari mulut mereka. Saya anggap sebagai ekspresi yang wajar. Meski jujur saya kadang masih gak nyaman di hati dan terbawa sedih juga. 



Kalau ada yang bilang, nanti kalau anak-anak udah besar mereka terbiasa kok. Hanya masalah waktu! Entah mungkin memang waktunya belum datang. Hmm mungkin memang anak-anak akan selalu tidak rela jika Ibu harus jauh dari mereka. Tandanya mereka sayang dan membutuhkan Ibu. Bukan semata karena butuh dibantu kebutuhan mereka tapi lebih pada support dan faktor psikologis mungkin. Karena sejatinya, kondisi Ibu mereka yang harus bekerja dan menyita waktu kebersamaan secara fisik dengan mereka juga bukannya tanpa hikmah.

Kami percaya, jalan cerita yang kami lalui bersama ini bukan hal sia-sia. Mungkin bukan keluarga yang ideal, jika sang Ibu harus berperan ganda sebagai Ibu bekerja, namun setidaknya selalu ada hal baik yang bisa kita jadikan pelajaran bagi kehidupan anak-anak kelak. 

Sejujurnya ada banyak hal yang tanpa kami sadari, menjadi nilai dan efek positif bagi anak-anak. Iya, menjadi anak dari Ibu bekerja juga banyak lho efek positifnya! Apa saja? Saya berharap sebagian menjadi sarana mengasah life skill mereka yang kelak berguna bagi mereka di masa depan. 

(Dituntut) Mandiri dalam Mengurus Keperluan Sendiri

Mungkin awalnya terpaksa atau dipaksa oleh keadaan. Namun blessing in disguise lah ya. Mereka mau tidak mau harus bisa mengurus keperluan mereka sendiri saat Ibunya tidak ada. Alhamdulllah semua anak-anakku yang sudah masuk usia pra remaja dan remaja ini (10 tahun, 13 tahun, dan 14 tahun) sudah bisa menyiapkan kebutuhan dan keperluan hariannya sendiri, termasuk saat Ibunya harus dinas luar kota.

Besok harus menyiapkan apa saja untuk ke sekolah: baju, buku, perlengkapan lain, bekal ke sekolah,  dan tugas pelajaran apa yang harus diselesaikan. Termasuk besok pulang pergi ke sekolah bagaimana? Ada yang masih diantar Omnya, ada yang sudah bisa menggunakan ojek online sendiri. Yang penting e wallet aman!

Tugas Ibu memastikan mereka sudah menyiapkannya sejak malam. Memastikan besok bekal dan sarapan yang mereka mau apa? Dan sudah siap juga untuk menyiapkannya di pagi buta sebelum mereka berangkat. Saat Ibu dinas di luar kota, Ibu sudah memastikan via telpon sejak malam. Untuk bekal dan makan pagi, juga biasanya disiapkan yang mudah. Kalau ada ayahnya, biasanya saya sudah stock lauk di kulkas yang tinggal di goreng misalnya ayam ungkep dan sejenisnya dan telur. Selain itu siapkan yang mudah seperti roti. 

Jika Ayahnya juga sedang tidak ada, saya minta bantuan ekstra pada kakak-kakanya. Mereka sudah bisa memasak nasi dan mengoreng telur setidaknya untuk sarapan. Bekal jika tidak memungkinkan bawa dari rumah, maka mereka dibolehkan jajan. Untuk makan siang atau malam, kadang kami pesankan Go Food dan sejenisnya atau kami siapkan Go Pay aja dan membebaskan mereka untuk memilih menu sendiri berdasarkan kesepakatan mereka.

Baca juga: Karena anak-anakku adalah Energiku

Belajar mengambil Keputusan

Ketika tidak ada Ibu dan juga Ayah di rumah, anak-anak dituntut untuk bisa mengambil keputusan secara mandiri jika diperlukan. Meskipun mereka tetap mengkomunikasikannya kepada kami, namun ada kondisi tertentu di mana mereka harus belajar dan berani mengambil keputusan baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan bersama. 

Mereka dikondisikan untuk memutuskan sesuatu yang mungkin biasanya diputuskan orang dewasa di rumah. Berani mengambil alih peran dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan bukan hal yang sederhana. Menjadi anak dari Ibu bekerja terutama yang penuh waktu di luar mengkondisikan life skill satu ini terasah saat ada tuntutan keadaan.


Berkompromi dan Bekerja sama

Skill life lainnya yang juga secara tidak langsung terasah adalah bagaimana mereka belajar berkompromi satu sama lain dan mau tidak mau harus bekerja sama. Karena kesibukan dan tanggung jawab di luar rumah yang cukup demanding dan menyita waktu, meskipun tetap menunaikan kewajiban sebagai Ibu sebelum pergi ke kantor atau saat dinas keluar kota. Namun sharing pekerjaan rumah yang sederhana sudah saya biasakan sejak dini.

Mungkin saat ada orang tua, hampir semua hal dilakukan sesuai arahan oarang tua. Bahkan mungkin "tahu beres" atau "terima jadi".  Saat harus mandiri, anak-anak akhirnya harus bisa saling berkompromi, berbagi tugas, dan bekerja sama agar bisa win win solution dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Apalagi saat Ibu tidak ada di rumah.

Siapa yang siapkan nasi, siapa yang nyapu, siapa yang pesan makanan, siapa yang urus kucing. Sebagian tugas yang biasa dilakukan Ibu beralih kepada mereka sehingga agar lebih ringan, mereka harus mau bekerja sama satu sama lain. Proses berkompromi dan bekerja sama insyaAllah akan terus terasah bersama waktu.

Menyampaikan pendapat dan perasaan / Mengasah Komunikasi

Saat dihadapkan oleh persoalan dan orang tua tidak di rumah, anak-anak harus belajar menyampaikan apa yang dirasakan kepada orang tua. Untuk mengasah skill ini, orang tua harus aktif memancing mereka untuk mau bercerita, mengkespresikan perasaan dan pendapat mereka.  Saya berusaha membuka diri dan memberi ruang kepada mereka untuk bisa menyampaikan apa yang mereka rasakan dan pikirkan terlebih jika komunikasi dilakukan secara jarak jauh.

Sejak musim pandemi, zaman PJJ dan semua akhirnya pegang gadget sendiri, kami sekeluarga bergabung dalam sebuah Grup Whatsapp. Di grup inilah semua percakapan keluarga terjadi. Mulai dari sharing informasi penting, sekedar bercanda, atau nyepam. Gak ada aturan khusus sih. Kami berusaha terbuka dan terutama saya berusaha mengekpresikan perasaan saya secara lugas dan gamblang lewat komunikasi tertulis ini. Saya berharap demikian juga sebaliknya dengan anak-anak. 


Saya dan suamipun tidak segan untuk menunjukankan komunikasi yang sifatnya "mesra" dan menunjukkan saling sayang di grup ini. Biasanya nanti disambut komentar atau sahutan dari anak-anak. Entah ledekan atau postingan sticker lucu-lucuan. Membahas masalah bersama saat tidak bisa kumpul bareng secara fisik juga bisa dilakukan di sini.

Layaknya media komunikasi jarak jauh tentu tak selamanya mulus. Kadang ada jeda respon. Kadang bahasa tulisan tak bisa mewakili bahasa verbal yang penuh ekpresif, tapi tidak apa. Semua merupakan proses belajar mengasah komunikasi.

Baca juga: Meski Ibu Bekerja, namun Ibu Selalu Mencintaimu Anak-anakku

Meskipun ada grup whatsapp namun untuk hal-hal yang personal, saya juga tetap melakukan komunikasi langsung dengan anak-anak. Baik per telepon, video call, atau whatsapp. Kadang-kadang butuh kesabaran juga memaintain komunikasi dengan anak-anak pra remaja dan remaja ini. 

Mereka yang saya tahu sangat aktif dengan gadgetnya kadang enggan membaca atau membalas chat dari orang tua. Kegelisahan seperti itupun saya sampaikan kepada mereka. Hakikatnya kami belajar bersama untuk membangun komunikasi meski terhalang jarak.

Komunikasi antar mereka juga bertumbuh saat harus mengkompromikan segala sesuatu di rumah tanpa Ayah dan Ibunya. Pasti ada saatnya komunikasi ini juga menemui jalan buntu dan tidak ada titik temu. Sekali lagi, proses negosiasi pasca ribut-ribut dan sejenisnya juga merupakan proses belajar yang mungkin memang harus mereka lalui.

Belajar bertanggung jawab

Setidaknya bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Mereka sudah dibiasakan menyiapkan kebutuhan sekolah untuk esok hari sendiri. Jika Ibu ada di rumah, tinggal tanya: "Ibu sepatuku kemana? baju putihku di mana?" dan seterusnya. Saat kami tidak di rumah mau tidak mau mereka berusaha mencari sendiri dan menemukan solusi sendiri atas kebutuhan mereka.

Justru saat ditinggal pergi bertugas biasanya mereka jauh lebih bertanggung jawab terhadap diri mereka. MasyaAllah Tabarakallah. Kadang kekhawatiran seorang Ibu berujung rasa lega karena mereka ternyata cukup bertanggung jawab atas peran mereka masing-masing. 

Untuk Kakak yang sulung terus terang saya sudah berani menitipkan amanah dan tanggung jawab untuk membantu adik-adiknya. Hmm gak selalu say Yes Mom pastinya. Awalnya keberatan, enggan, malas, atau kalau lagi gak bagus mood-nya malah ngambek dan marah karena merasa terbebani. Well, tapi alhamdulillah so far, sepanjang Ia tidak sedang sibuk dengan beban tugasnya sendiri, Kakak mau menerima dan bertanggung jawab menghandle amanah kami.



Mengasah Empati terhadap Beban Orang Tua

Sebagai orang tua kita tentu tak ingin membebani anak-anak dengan urusan kita. Namun melibatkan mereka dalam kenyataan kehidupan kita sebagai orang tua yang harus berbagi waktu, tenaga, dan peran antara menjadi orang tua dengan bekerja di luar rumah setidaknya memberikan gambaran kepada mereka dan secara tidak langsung semoga mereka bisa mengasah empati diri bahwa menjalani posisi tersebut bukan hal yang mudah.

Proses ini rasanya sudah mulai tampak sejak mereka kecil. Dulu, saat saya pulang kantor di hari yang penat. Setelah mengucap salam dan membuka pintu, mereka berebutan salim tangan lalu lari ke dapur dan kembali dengan segelas penuh air putih. "Ibu capek ya, ayok minum". Duuh hilang semua lelah dalam sekejap. Saya tahu mungkin Mbah Utinya yang mengajarkan hal tersebut. Semakin besar terlebih di zaman mereka sibuk dengan gadget, memang tak ada lagi kebiasaan menyambut kami pulang.

Namun kesediaan mereka untuk berbagi tugas harian dengan saya merupakan tanda bahwa mereka mau sekedar meringankan beban kami. Saat saya tepar karena kelelahan atau sakit misalnya, mereka berusaha untuk membiarkan saya sendiri dulu dan tidak se-demanding biasanya. Saya pun sadar betul bahwa mereka tetap anak-anak. 

Baca juga: Lelah Berkepanjangan? Lakukan ini Moms!

Well, memang semua masih belum sepenuhnya berjalan seideal itu. Apalagi sejak beberapa bulan ini kami dibantu ART yang datang pagi untuk bantu setrika dan beres-beres rumah. Semua pekerjaan rumah yang dulu sempat kami distribusikan ke seluruh penghuni rumah tak lagi berjalan. Mereka sibuk dengan urusan sekolah dan tugas-tugasnya. Urusan pekerjaan rumah balik ke Ibunya dan sebagian dibantu Mpok.

Kondisi Ibunya yang sekarang tidak setangguh dulu dan mereka juga mulai tumbuh besar menuntut mereka mau tetap sedikit membantu tugas Ibunya. Ibu bukan cuma harus urus mereka ini itu tapi Ibu juga punya tanggung jawab pekerjaan sebagai seorang pekerja. 

Musim pandemi, mereka melihat langsung bagaimana ritme ibunya bekerja secara WFH kadang lebih sadis dan gak kenal waktu.  Kondisi ini setidaknya membuka mata mereka bahwa selain menjadi Ibu mereka, Ibuku benar bekerja, berkarya, dan berguna untuk masyarakat lebih luas. 

Sekali lagi, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk pembelaan diri atas peran sebagai Ibu bekerja. Lebih karena ingin menguatkan diri bahwa selalu ada hal positif yang bisa kita gali dan kembangkan dari peran yang nyatanya tidak mudah ini. 

Pun semoga ibu bekerja di luar sana, yang mungkin tengah struggling dan berkutat menghadapi dilema bisa mengambil sedikit pelajaran dan kembali membangun semangat, bahwa bekerja di rumah atau di luar rumah, bekerja atau tidak bekerja, Ibu adalah Ibu. Kita tidak perlu bercita-cita menjadi Ibu yang paling baik di antara semua Ibu, cukup menjadi diri yang terbaik untuk anak-anak kita. Semangat Moms...



1 comment

  1. Masyaallah baca chatnya terharu, bisa ya anak-anak akur ditinggal jauh, pastinya sebagai orang tua ninggalin mereka di rumah khawatir dan sedih. Jadi, bangga kalau mereka sudah besar apalagi tumbuh dewasa dengan baik. Terima kasih sharingnya!

    ReplyDelete

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.